Rabu, 30 Maret 2011

Bahasa dan Budaya Sasak

Yogyakarta [sasak.org] Hingga di tahun 1970an saya banyak menyaksikan orang orang elit Indonesia sisa sisa kolonialisme yang masih menggunakan bahasa Belanda dalam kehidupan sehari hari. Diantara yang elit itu ada yang lebih khusus lagi yaitu yang menggunakan bahasa Prancis yang diselipkan disan sini. Mereka itu adalah orang orang yang dahulunya bekerja atau mendapat keistimewaan dilingkar penguasa penjajah asing. Orang orang elit itu biasa tinggal dan bergaul dengan sesamanya dan mempertahankan cara hidup bak induk semang mereka si penajajah itu. Kalau penjajahnya Belanda maka mereka menggunakan bahasa Belanda dan Prancis. Di negeri dengan penjajah Spanyol seperti Filipia kaum elit tentu memakai bahasa Spanyol.

Pulau Lombok yang sejak zaman prasejarah menjadi tempat singgah dan menetapnya berbagai bagai bangsa, mulai dari bangsa Khmer dari kerajaan Champa dans ebelumnya, China Selatan atau Yunan yang membawa bahasa Sinotebetan dan banyak kosa kata seperti tene, nyampah, mai/maeh dll. Kemudian datang pula bangsa Jawa dan Bali yang membawa bahasa Kawi sehingga kita mempunyai bahasa yang sangat dekat dengan kedua bangsa itu. Orang orang elit Sasak, membangun dan mengelompokkan diri mengikuti cara dan gaya induk semangnya sang penjajah Jawa dan Bali. Mereka menggunakan bahasa Kawi,Jawa, Bali dan kadang dicampur baur dengan berbagai bahasa lain dikemudian hari. Mereka ingin terlihat seperti induk semangnya sehingga menskipun bahasanya tidak begitu dikuasai mereka memaksakan untuk bicara sebagaimana gaya penjajah. Hal itu berlanjut sampai pada gaya berpakaian segala.

Bahasa Kawi atau menak yang sperti dipergunakan pada pertunjukan teater atau wayang meank Sasak adalah seperti bahasa Italia yang digunakan pada opera di seluruh dunia yang mengadopsi gaya Italia itu. Atau bahasa Spanyol pada nyanyian para sopranos dalam teater teater di Eropah. Ketika orang memutuskan menggunakan bahasa Sastra dalam komunikasi sehari hari pasti akan sangat canggung (kelegot) sebab settingnya tidak sesuai lagi dengan apa yang harus diekspresikan. Menggunakan kosa kata yang dianggap bahasa tinggi (sementara orang menyebutnya base alus) seharusnya mengubah gesture dan mimik seseorang. Apa artinya kita mengatakan pelinggih (kursi), Cokorde atau Sampeyan dalem (kaki) atau Paduka (kasut) kalau kita bersikap layaknya bicara dengan teman sepermainan?. Bahasa Sastra itu bukanlah bahasa Sasak, buktinya dalam penggunaan sehari hari tak ada satupun yang fluent (lancar) menggunakannya.

Pernahkah menonton wayang menak Sasak?. Semua karater yang berbadan tingi dan berhidung mancung itu bukanlah bangsa Sasak. Tingginya rata rata diatas karakter lokal. Satu satunya karakter penting yang dihormati oleh karakter non Sasak itu adalah Oemar Maja (umar Maye). Ia digambarkan sebagai seorang sakti dan bijaksana yang bibirnya bergerak saat bicara. Karakter lain hanya tangan dan badannya yang bergerak sebagai simbul penguasa yang main tunjuk saja. Umar Maye adalah mewakili orang asli Sasak yang mengutarakan setiap kata dengan lugas sampai bibirnya dapat dibaca, terus terang dan bersahaja. Karater Umar Maye ada dalam wayang menak Jawa tetapi tidak dibedakan dengan karakter lainnya, dalam berbicara. Umar maye adalah juru bahasa bagi rakyat akar rumput. Ia mewakili tokoh yang kita sebut Sasak Lokax.

Sebelum adanya para pendatang yang menjajah, Bangsa Sasak adalah orang Budis terbukti dengan adanya penemuan patung Buddha yang sekarang disimpan di musium nasional. Kemudian semua bangsa berdatangan dan memberi pengaruh pada bangsa Sasak dalam bahasa, budaya dan adat mereka. Bangsa Sasak sejak dahulu kala adalah bangsa yang sangat bhineka. Kalau kita bandingkan dengan Autralia dan Amerika Serikat yang hanya berusia 200 tahun dan mereka berhasil membangun sebuah negara bhineka, maka bangsa Sasak jauh lebih dahulu merintisnya. Katakanlah kita telah mulai berasimilasi dengan berbagai bangsa pendatang sejak 1200 tahun lalu, dengan bukti bukti peninggalan budaya dan hukum yang ada kita telah survive sampai saat ini. Kita akan terus menjadi warga bhineka tanpa perlu repot repot mengkorup sejarah seolah kita pernah punya kerajaan masing masing ditiap gubuk dengan maharaja entah berantah.

Dewasa ini generasi muda yang cinta Sasak dan Lombok dibuat bingung oleh para budayawan keblinger yang mengaku aku sebagai pewaris budaya adiluhung Sasak dengan mencari legitimasi dari lontar lontar manapun yang bisa dicopy paste lalu membuat baju kebesaran dengan gaya bicara bak pemain ketoprak keliling. Kelegot dan kaku, tentu masyarakat awam merasa geli dan asyik melihat pertunjukan gratis itu.Tidak ada petir tahu tahu muncullah raja diraja diantara para pendukung dana korup dan bersembunyi dibawah bayang bayang kekuasaan.

Menggelikan sekali kalau kita mengaku telah bersyahadat sementara mengatasi masalah kemacetan oleh acara nyongkol yang menghamburkan biaya besar yang kontras dengan banyaknya anak anak bangsa yang kehilangan hak dasarnya atas pendidikan dan kesehatan tak dapat diselesaikan dengan arif. Kita seharusnya menerima Islam satu paket, jangan dikurangi dimana mana agar dapat menjadi barter untuk legitimasi perkara lain yang ternyata bertentangan dengan akidah. Mempertentangkan ajaran Islan dengan ideology modern semisal masalah polygami, jihad yang disalah artikan dan ukhuwah yang dimanipulasikan adalah tindakan mengambil Islam separuh hati. Satu kaki berpijak pada hukum Islam satu kaki lagi pada hukum lain. Jadi bagaimana kita dapat mengerti tentang Rahmatan lilalamin bahwa kita berbeda beda untuk saling mengenal kalau semua harus munafik lompat sana lompat sini. Tiba tiba kita memeliki musik dan tari ale ale yang ntah dari mana datangnya tapi diakui sebagai warisan Sasak. Contoh yang buruk dari mereka yang mengaku aku raja dapat diterapkan juga pada mereka yang mengaku aku sebagai kreator seni baru bangsa Sasak yang asli dari nenek moyang.

Membangun Lombok tidak bisa dengan mengkopy paste program jadi jadian yang didapat dari daerah lain apalagi dari negera asing. Para pemimpin ramai ramai studi banding ke daerah lain dan menganggap daerah lain lebih bagus padahal sesudah mereka pergi daerah lain sudah berubah lagi karena yang studi banding berikutnya inginnya berbeda sesuai yang dilihat dari sponsornya. Apalagi yang studi banding ke luar negeri, masak sih cuma sebulan bisa faham. Paling juga pergi shopping dan ke lampu merah atau pijat sana pijat sini. Makanya yang digembar gemborkan adalah modernisasi apa saja yang dianggap kurang maju lalu mematok target harus seperti yang sudah dilihat di Eropah. Ganjil sekali bangsa Sasak kalau harus sama dengan Bali, Jawa, Belanda atau Jepang. Orang Sasak yang hebat adalah orang yang sanggup menunjukkan kreatifitasnya dalam menghadapi tantangan hidup. Orang yang sanggup keluar dari jeratan penjajahan ekonomi, budaya dan politik. Orang yang sanggup berbicara dengan tegas lugas sedemikian rupa sehingga orang dapat membaca gerak, bibir, mata dan tubuhnya dengan terang benderang.

Tidak ada bahasa kasar yang dipakai orang Sasak dalam bebicara. Yang ada adalah bahasa biasa (kolokial) dan bahasa Sastra. Mau memilih yang manapun asal konsisten tidak ada masalah. Bahasa kasar hanya digunakan oleh orang yang marah, mabuk atau gila. Bahasa lucu adalah apabila orang tidak menguasai bahasa Sastra tetapi memaksakan diri sehingga gerak geriknya tidak sejalan dengan ungkapannya. Pergunakanalah subjek Ite (I), Side (you), Ye (he,she,it), Ite pade (we), Side pade (you plural), Ye pade (they). Kata serapan asing Aku (Melayu) Ante (Arab) Kamu( Melayu) dianggap kurang sopan bila dipakai pada orang baru dan dewasa. Untuk subyek orang kedua tunggal bahasa Sasak asli mempunyai bentuk egaliter Di baik untuk anak atau dewasa. Di adalah sama dengan kata De yang berasal dari bahasa Sangskrta Deva, Devi. Sayangnya kata Di, tinggal satu kelompok masyarakat Sasak yang masih menggunakannya. Bahasa Sasak Asli yang sama sekali bebas dari pengaruh bahasa menak itu, masih dipakai di seluruh Lombok.

Bagi generasi muda yang ragu bicara Sasak gara gara tidak menguasai bahasa Sastra tidak usah sungkan sungkan menggunakan Sasak asli yang dipakai oleh Umar maye itu. Cukup kita betiang berenggeh tidak apa sebab tiang dan nggih sudah diserap semua lapisan selain itu biasa biasa saja. Aox dan ndex adalah kosa kata yang lebih tua dari bahasa sastra, tidak ada pantangan memakainya kalau mau.

Wallaohualambissawab

Demikian dan maaf
Yang ikhlas

Hazairin R. JUNEP

Tidak ada komentar: