Jumat, 06 Maret 2009

Sasak Dunia Daun Kelor

[Sasak.org] Jumat, 07 November 2008 01:00
" Kalau kau tidak ada siapa yang memimpin anak anak ini? Kapan kau akan kembali, kami sangat memerlukan ketegasanmu untuk membuat kami lebih bersemangat. Seringlah pulang menengok kami, makin hari kami makin tua. Kapan kau bangunkan madrasah untuk anak anak miskin di kampung kita?".(Alm.Tuax Mahir)

Saya muncul setelah hilang lebih dari 6 tahun, tak ada yang tahu apa yang saya lakukan dalam perantauan karena saya tak banyak bercerita. Saya menuntut ilmu dari berbagai orang diberbagai tempat, sambil kuliah dan berkerja serabutan. Mengajar privat, menterjemahkan buku dan membuat tempe serta memelihara ayam. Tidak ada usaha besar tapi cukup untuk hidup sejahtera. Untuk membeli buku dan kebutuhan harian.

Kalimat kalimat permintaan dari semeton jari inax amax saya di kampung, membuat saya tertegun. Sekian tahun saya menghilang terus menerus, belum pernah genap setahun saya tinggal di Lombok sejak 1981 itu, lebih banyak menghilang dari pada nongol. Mereka sungguh memerlukan seorang yang mau membimbing mereka dengan cara yang berbeda. Mereka telah punya ustad dan TG yang berkelas tapi mereka tetap hidup terpuruk. Di dasan saya yang kumuh satu blok seluas 300m persegi dihuni 50 orang dari mbah sampai cucu bergelayutan. Blok sebelahnya jauh lebih banyak dan lebih kumuh lagi dst.

Sejak SMP saya suka mengajak anak anak tetangga yang sebenarnya adalah sepupu dan keponakan saya sendiri, untuk bermain dan belajar bersama di lapangan PORDA. Mereka kebanyakan sekolah mentok SMP dan sebagian kecil saja sampai SMA. Sekarang beberapa dari mereka pergi menjadi TKI, tapi setelah pulang kembali terpuruk. Meskipun sempat membangun rumah.

Di depan rumah amax menanam kemangi yang tumbuh rimbun dan di seberang jalan ada dua batang pohon kelor yang penampilannya sedih sekali. Selebihnya pohon nangka berderet sepanjang sisi selokan. Kemangi yang rimbun itu mengundang orang dari ujung ke ujung untuk mencabik pucuk pucuk mudanya dan kelor di seberang itu tiap ujungnya berisi 3 atau 4 helai daun yang belum sempat mencapai ukuran penuhnya gemetaran melihat orang berseliweran menunggu giliran merengkuhnya.

Kebobrokan dan kerumitan manusia Sasak di dasan saya itu cukup saya
pantau dari dua jenis pohon yang bergantian dipetiknya itu dan selokan yang penuh comberan di depan hidungnya. Bangsa Sasak adalah sedikit bangsa dunia yang mengkonsumsi daun kelor dan daun kemangi, mereka sangat suka meminum kuah daun itu. Para perantau Sasak dimana mana tetap merindukan kelor dan banyak yang menanam pohon itu di tanah airnya yang baru.

Bagaimana mungkin orang di dasan saya yang jumlahnya ribuan itu, hanya menerima saja punya pohon kelor dua batang dipinggir jalan. Bukankah tiap orang dapat menancapkan pohon kelor yang gampang tumbuh di tiap 2 m tanah kosong dari ujung ke ujung jalan di depan dasan itu?

Apa yang kau katakan setiap hari itu yang terjadi. Ada pepatah yang mengatakan dunia tak selebar daun kelor! Tapi Bangsa sasak terjerumus ke dalam arti sesungguhnya dari dunia sempitnya yang berkutat di seantero daun kelor itu. Bagaimana tidak, mereka bangkit dari tidur, mengaji memang, beribadah jalan, tapi sesudah semua ritual agama selesai, tangan dan kakinya menjulur ke pohon kelor….

Waktu SD saya suka membaca dongeng , salah satu yang menyeramkan dan masih saya ingat adalah kisah anak yang dipelihara serigala di Sumbawa, meskipun belum pernah sempat selesai membacanya saya memetik pelajaran dari dongeng itu. Bahwa manusia tumbuh dan berkembang menurut lingkungan dan tuntunan orang sekitarnya.

Anak manusia dipelihara sekelompok serigala, setelah besar dia berperilaku sperti hewan itu. Tahun lalu seoarng gadis ditangkap di Kamboja, perilakunya seperti serigala karena hidup di hutan bersama hewan liar. TV menunjukkan gambar seorang perempuan muda dikerangkeng karena agresif dengan sifat hewani yang tumbuh berkembang selama di rimba raya hidupnya.

Orang dasan saya adalah orang yang terjebak dalam rimba imajiner, mereka terkungkung dalam lingkup sempit, dengan penghuni terlalu ramai. Tiap hari ada yang berkelahi, ribut dan sakit. Meskipun semua itu wajar dalam kehidupan tetapi mengalami dengan frekuensi tinggi hal hal wajar yang sama itu, lambat laun menjadi gangguan, seolah hidup ini isinya hanya kesulitan demi kesulitan. Rumah yang sangat dekat membuat batas privasi menjadi hilang. Setiap orang tahu kegiatan masing masing tetangga yang merupakan saudara, paman sampai nenek. Kita saling tahu kapan semeton kita kawin, kapan mereka melahirkan. Kita tahu semeton kita sedang apa di kamar. Kita tahu yang lain sedang tidak makan bahkan kita saling melihat saat mandi dan buang air.

Para penghuni dasan banyak yang menjadi apatis, ketika ada alternatif bagus untuk memindahkan mereka dengan bertransmigrasi atau bekerja di daerah lain, mereka segan berangkat. Kebiasaan berpuluh tahun telah merasuk dalam darah dan tulang mereka bahwa hidup sperti itu, yang berdesak dan tanpa privasi itu telah menjadi sebuah kenyamanan. Dengan berkata, meskipun kita kurang sesuatu asalkan kita kumpul bersama. Maka pameo itu seolah menjadi ideology yang terbaik meskipun Allah mememerintahkan kita agar bertebaran dimuka bumi ini untuk mencari rezeki.

Menyembuhkan kebiasaan dan sikap mental masyarakat seperti tiu sungguh berat. Berapa bupati dan gubernur baik yang dari luar apalagi yang lahir dan besar bersama pohon kelor itu telah lewat, ada yang brerakhir di bui ada yang mati dan langsung lenyap namanya, tidak ada yang berhasil mengangkat keterpurukan anak bangsa itu.

Kendala utama mengentaskan orang dasan saya adalah bahwa pemimpin dan apalagi pejabat pemerintah tidak memahami psikologi massa masyarakat itu. Dari sisi masyarakat sendiri, kebiasaan hidup yang dijalani telah mendarah mendaging sikap tidak percaya pada orang diluar klannya. Coba lihat sebagian Sasak diaspora, hanya sedikit yang terbuka dan punya rasa percaya pada orang lain apalagi percaya pada diri sendiri. Kebanyakan mereka sulit percaya karena bertahun tahun dilalui, semua janji dari orang yang dipercaya tidak ada buktinya. Sasak diaspora beruntung melihat dari jauh bagaimana orang yang dianggap pemimpin di Gumi Sasak dapat kelihatan bobroknya sehingga pandangan terhadap mereka jauh lebih objektif.

Ada satu kemungkinan jalan keluar untuk mengentasakan penghuni dasan yang terpuruk itu. Dengan mengambil beberapa pepadu untuk dilatih dan dipekerjakan di tempat tinggal Sasak diaspora. Kalau satu orang membawa 2 sampai 5 pepadu nina mama, untuk digembleng, perlahan lahan insyaallah dalam 10 tahun akan merdekalah anak bangsa Sasak. Orang yang mengajak hendaklah orang yang dikenal dan dipercaya, disinlah peran keluarga dekat untuk meyakinkan mereka agar tidak terjadi seperti tawaran transmigrasi yang tak banyak peminatnya itu. Bagi yang tidak sanggup karena masalah dana dapat bekerja sama dengan Pemda masing masing kabupaten untuk dilibatkan, terutama dinas pendidikanan, tenaga kerja dan pemuda. Program ini dapat dilaksanakan untuk mengganti program pertukaran pemuda antar daerah yang pernah dilaksanakan tapi tidak begitu sukses meskipun membuang dana besar.

Ayolah Bangsa Sasak, terutama yang diaspora, sekaranglah waktunya, beriuk tinjang, mengangkat harkat martabat kita. Kita bisa saja tak punya dana, tapi kita dapat membantu tenaga atau pikiran dan semangat disertai doa.

Ayolah Anakku Mas Mirah, bergerak serentak dan maju jaya, jangan tunda, berikan apa yang dapat kau persembahkan bagi gumi Sasak tercinta.

Ayolah Buax Ate Kembang Mate, tak ada yang akan sanggup mengubah nasib kita kecuali kita sendiri.

Ayolah selagi sempat, jangan sampai semua hilang diterbangkan angin!

Wallahualam bissawab

Demikian dan maaf
Yang ikhlas
Hazairin R. JUNEP

Tidak ada komentar: