Yogyakarta [Sasak.org] “Aku bersyukur bahwa aku memiliki orang orang kejam disekitarku. Mereka telah melemparku dijalanan dan aku bangun dari keterpurukan dengan luka memar. Aku tidak dendam kepada mereka setelah semua berlalu. Jika bukan karena kesalahan orang orang yang telah melemparku niscaya aku tidak setegar saat ini. Orang beriman adalah orang yang percaya pada qada’ dan qadar”.
Itu adalah sebuah catatan dari seorang Sasak Diaspora yang berada disuatu negeri yang jauh. Dia mengenang dan merindukan gumi Selaparang yang telah membesarkannya dengan segala benci dan cinta. Diantara keduanya yang menang adalah cinta. Maka jadilah ia seorang yang cinta dengan segenap hatinya kepada negerinya nun jauh disana.
Saat saya terbaring sakit keras saya harus menelan pil antibiotika yang membuat saya kesakitan. Tiap milimeter daging saya, rasanya seperti diris iris. Obat kimia membunuh kuman tetapi menyakitkan karena semua dihantam termasuk tiap mili sel sel saya ikut pedih dan perih. Kalau bukan kekejaman antibiotik itu tentu saya tak segera sembuh. Saya bersyukur bahwa Allah memberi saya kesempatan untuk merasakan pedihnya mata dan kulit dipadang salju yang membeku. Ketika setiap mili daging saya mengkerut untuk melawan dingin dan tiba tiba udara terasa panas saat memasuki bagian selatan bumi ini, tubuhpun menjadi hidup kembali. Tiap mili daging itu melonjak lonjak merasakan nikmatnya matahari.
Ketika matahari terus menyorot dengan gagahnya sepanjang tahun, kita pasti tak akan siap bila tiba tiba hujan turun selama berbulan bulan. Kita mulai sakit dan tidak nyaman. Kita mengeluhkan becek dan basah kuyup. Tapi ketika matahari bercahaya lagi, rasa syukur kita tidak sekuat keluhan kita sebelumnya. Kalau musim tiada berganti niscaya kita tak mendapat kenikmatan sehebat ini. Atau badan kita akan menjadi lemah dan rentan terhadap perubahan. Rupanya itulah yang dicatat oleh sang musafir Sasak diatas. Sesudah kesulitan akan datang kemudahan.
Kalau saya sakit saya abaikan saja telpon yang berdering sebab saya tidak kuat bicara. Tapi ketika kawan yang sering saya ceritakan itu menelpon, saya jadi tertarik mendengarnya. Rupanya benar ia ingin menymampaikan pesan penting. Bahwa di negeri Selaparang banyak pengangguran dan perempuannya dibuang atau digadaikan atau dijual mentah mentah ke negeri jiran untuk menjadi babu, budak dan pelacur cuma cuma. Mengerikan sekali cerita kawan itu, bagaimanakah bisa negeri seribu masjid begitu gampang kecolongan dan membiarkan perempuannya dihina dina. Bukankah perempuan adalah “epen bale”, empu rumah!. Pemilik rumah, yang menentukan baik buruknya sesisi rumah. Tiap tiap perempuan Sasak adalah ratu yang berkuasa karena dialah epen bale, yang lainnya kost, tahu!.
Cerita menjadi panjang karena dalam naskah duntal yang dia bacakan tersebutlah seorang tokoh kita yang sering saya takut takuti, biasalah saya suka menakuti sesama teman main sebox peta. Tokoh kita itu sudah malang melintang di tanah orang tidak hanya di Nusantara ini yang dia injak injak, ke luar negeri saja dia berani minggat pada saat kebanyakan anak Sasak yang ikut KS masih bayi atau SD. Dia itu sudah lama pensiun, tapi badannya gagah, tentu saja gagah dan kekar, bukankah semua keturunan Doyan Nada memang botox botox. Sampai tua dia tidak hanya botox tapi bontet. Sebagai pelakon utama ternyata dia harus pulang lagi setelah berpuluh puluh kali pulang ke gumi Sasak. Kali ini ia pulang dengan segala keyakinan, hati teguh dan tidak lupa mengasah bebadongnya. Ia telah menimbang dan menimbang jauh sebelum dia pensiun bahwa dia harus melakukan satu hal. Semua kawan diceritakan tentang keinginannya itu dan meminta supaya dibantu merealisir cita cita mulianya.
Perempuan Sasak harus dilindungi, diayomi, disayangi sebab bila jatuh martabatnya maka semua isi rumah ini akan terhina. Lombok adalah rumah besar bagi anak bangsa Sasak dan epen bale mereka adalah inax bukan amax!. Keputusan bulat dibuat dan datanglah dia melamar salah satu perempuan yang dia kira akan menjadi korban perdagangan gelap, TKI gelap, Pelacur gelap, atau budak belian. Perempuan itu lebih pantas jadi anaknya, tetapi untuk melindunginya seperti anak bukan muhrimnya. Maka sepakatlah mereka menikah dan langsung akan punya anak. Selamatlah nasib salah satu anak gadis Sasak. Kini anak gadis itu telah menjadi epen bale. Entah bale yang keberapa, lembaran duntal tidak menerangkannya.
Saya mulai gelisah menghitung hitung anak Sasak diaspora yang akan pensiun dan membayangkan kalau mereka akan meniru tokoh kita pulang dan mengayomi para janda yang banyak di Lombok Timur itu. Apakah ini adalah jalan keluar yang baik atau malah mendatangkan mudarat kelak. Mengapa kita tidak membuat dasa wisma disetiap RT. Satu orang tokoh akan bertanggung jawab moral mengontrol 9 tetangganya. Apakah ada anggotanya yang sakit, tidak makan, tidak sekolah atau perlu modal untuk berusaha. Tetapi timbul masalah karena ada kampung yang isinya perempuan semua. Lelakinya minggat entah kemana selama puluhan tahun terakhir. Penyakit masyarakat miskin dan terbelakan bermunculan. Aborsi, anak lahir tanpa tahu ayahnya siapa karena tes DNA mahal, pelacuran terselubung kawin siri dst.
Ternyata, kawan saya yang suka saya takuti itu ada benarnya, mengambil langkah berani. Salah satu yang menakutkannya adalah saya suka bilang bahwa saya ingin hidup 400 tahun!. Kalau sudah begitu wajahnya berubah. Tetapi dengan umurnya sekarang, bagaimana dengan nasib anaknya ketika ia berumur 75 tahun, anaknya akan berusia 13-15 tahun. Kalau dia masih selamat lumayanlah dia akan membawa kelewang untuk menjaga anaknya kalau ada yang akan menjualnya jadi budak. Meskipun kalau ada maling dia pasti kalah berebut. Tapi bagaimana kalau dia berangkat duluan karena dipanggil oleh Yang Maha Punya Rencana?. Saya dituduh terlalu matematis oleh orang sebelah saya. Katanya hidup itu tidak begitu, pasti akan ada jalannya. Saya hanya bisa melihat secara akal sehat, bukankah saya tidak percaya pada nasib, klenik dan kebetulan. Bukankah Allah sudah menyerahkan bulat bulat alam ini untuk dikelola dengan baik. Para pemegang kuasa dimasyarakt saja gagal merencanakan dan menata masyarakat. Apakah begitu rumitnya peraturan sehingga tak satupun dapat dijalankan?. Hukum itu sejak Nabi Musa dengan 10 perintah Allahnya selalu sederhana, yang rumit adalah cara hidup manusia yang terus mengembangkan tipu daya. Siapa yang harus menbersihkan tipu daya kalau bukan masyarakat sendiri. Terus mulai dari mana kawan?. Ya, dari diri sendirilah. Apa yang dilakukan oleh kawan saya itu adalah salah satu cara, agar dia tidak saya takuti hanya akan masuk gorong batang saat pulang kampung. Dia dengan bangga bilang, “uh, saya sudah sempat menyelamatkan setidaknya satu perempuan calon korban woman trafficking dan kini jadi epen bale saya”.
Saya harus minum obat dulu, supaya saya cepat sembuh dan secepatnya mencari cara menakut nakuti kawan saya yang sudah tua tetapi segera punya anak lagi. Sebenarnya saya ingin sekali pemuda pemuda yang mosot melakukan tugas itu, tidak hanya satu, dua, tiga bahkan 4 perempuan bisa diselamatkan, tetapi harus berjanji untuk menyelamatkan dengan sungguh sungguh, sebab ini adalah misi penyelamatan yang setara dengan tugas Nabi Musa saat membelah laut Merah. Dahulu Fir’aun yang merusak sekarang saudara kita sendiri menjadi musang berbulu ayam.
Wallahualambissawab
Demikian dan maaf
Yang ikhlas
Hazairin R. JUNEP
Rabu, 30 Maret 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar