[Sasak.Org] Ketika anak anak dasan berlarian mengangkut batu batu untuk membangun Sekolah di dekat perkebunan kelapa di batas dasan, datanglah pemilik truk yang juga bos dari perusahan konglomerat dasan terbesar dimasanya.
Bos itu mendekati merebot yang memimpin gotong royong seraya berkacak pinggang berkatalah dia: Amax biarkan anak anak dan pepadu yang bekerja , side betelah saja. Meskipun merebot enggan tapi untuk menghargai, dia diam juga untuk mendengar omongan bos itu. Bos meneruskan: Amax, saya yang akan membangun sekolahan itu, tolong doakan saya ya. Insya Allah jawab merebot. Ketika hendak melangkah bos itu mencegah lagi dan berkata: Coba lihat amax, sepanjang side melihat ke timur semuanya adalah lahan saya. Sepanjang side melihat ke barat, utara dan selatan itu semua lahan saya. Merebot heran sekali apa sebenarnya maunya si bos cerita begitu, meskipun dia tahu ini orang bterkaya tapi perlu juga diberi satu AYAT agar kiranya si bos mengambil hikmahnya.
Merebot yang berkeringat itu lantas bertanya dengan lembut: semeton, saya tahu luasnya lahan side, membentang sampai dikaki langit, tapi izinkan saya bertanya, apakah side punya lahan diatas sana? Sang bos bercucuran keringatnya padahal tidak satu batu kecilpun diangkatnya. Maka tanpa berpanjang panjang dia langsung njingkret pulang, sampai lupa mengucapakan salam. Bos ini memang kaya, tapi tabiatnya kurang ramah kepada pepadu dasan yang banyak direkrut jadi kulinya dengan bayar murah meriah karena tak ada yang berani protes.
Dua tahun kemudian bos itu mulai merosot usahanya karena dia tak sanggup melawan nafsunya berspekulasi. Dan akhirnya seperti cerita orang dasan yang pernah kaya, bangkrutlah si bos dengan cara yang sama pula. Mulai berbisnis, mengahalalkan segala cara berhasil jadi kaya lalu terpuruk jatuh. Sesungguhnya manusi dalam keadaan merugi kecuali mereka yang bertakwa. Kita gampang lupa bahwa semua ini ádalah amanat, titipan sementara. Dan semua yang bersifat semetara akan segera lenyap hanya soal waktu.
Hidup manusia dihiasi oleh senang dan susah, berhasil dan gagal, rahmat dan bencana. Diantara kejadian kejadian itu kita mencoba bersembunyi dari yang tidak kita sukai dan kita mengejar yang kita sukai. Yang paling malang nasibnya ádalah orang yang terjerumus cinta mati pada masalah duniawi dan takut mati. Kejadian di dasan baik yang berkelahi di kampung sampai di kampus dan bahkan kondisi kerja di kantor pemerintah sesungguhnya mencerminkan perilaku manusia yang cinta dunia dan takut mati.
Waktu muda saya pernah masuk ke 3 perguruan tinggi berbeda dengan dua kali pelonco dan yang ketiganya hanya penataran P4 dan perkenalan dengan senior tanpa seremoni.
Saat pelonco itu saya melihat banyak sekali cama dan cami yang sangat ketakutan tanpa alasan jelas. Mengikuti pelonco ádalah wajib, saya tahu karena saya secara khusus minta izin dari ketua panitia untuk tidak ikut pelonco karena saya dapat tugas besar untuk membawa nama bangsa di mancanegara, tokoh kita yang dosen, tetangga dan senior saya di Selong itu menolak dengan alasan wajib ikut. Rambut saya digunting entah sebab apa dan sayapun melawan, sayang rambut saya terpotong juga, saya tak memperbaiki potogan rambut saya dan akhirnnya saya punya kesempatan membalas dengan menghukum senior yang memotong rambut saya itu. Untung ada yang melerai dan kami kasihan. Pelonco kedua saya lawan habis, karena sesungguhnya acara perkenalan kampus itu hanya untuk menyambung tali persaudaraan tapi disalah gunakan. Mengapa begitu banyak kita lihat mahasiswa disiksa óleh seniornya seperti di IPDN dan terakhir di Universitas Nurtanio? Karena kampus diisi oleh orang lemah, tidak mengerti dan picik. Seandainya senior mengerti dan berpengtahuan dan seandainya mahasiswa baru tahu bahwa semua yang dilakukan oleh senior hányalah permainan tolol niscaya tidak ada kasus menghebohkan itu.
Mahasiwa baru begitu inginnya dapat kuliah sampai mengorbankan diri digasak fisiknya hinggá ada yang mati. Orang orang yang telah melewati masa sulit itu kelak kemudian akan bekerja di pemerintahan dan swasta dengan membawa luka trauma bathin yang berkepanjangan. Ketika saya diangkat jadi pegawai negeri saya memandang atasan sebagai orang yang wajib membantu bawahan yang memerlukan bantuan karena mereka digaji untuk itu. Kepala, rektor atau apapun harus membantu staf dan karyawan mereka untuk maju bersama. Tapi apa yang terjadi di dasan kami ádalah pegawai yang sangat takut kepada atasan dan atasan yang sangat represif kepada stafnya.
Pimpinan bertindak sebagi diktator karena haus kekuasaan. Menghalalkan segala cara untuk mengambil keuntungan dari kelemahan bawahan. Bawahan sangat ketakutan kalau sampai pimpinana menutup aksesnya naik pangkat. Kedua orang itu sama sama kuatnya dalam mempertahankan hidupnya sedemikian rupa sampai lupa seolah satu orang dapat menentukan hidup orang lain dan seolah si staf adalah makhluk tak berdaya yang harus menyembah. Pimpinan dan bawahan tidak lagi saling asah asuh tapi saling manfaatkan dengan cara kotor.
Kita tumbuh menjadi manusia kerdil karena kita fokus hanya kepada kesempatan menikamati kesenangan dunia. Meskipun banyak Tuan Guru yang memberi peringatan agar kita menyeimbangkan antara kebutuhan jasmani dan rohani tapi jauh panggang dari api. Masyarakat sudah cinta mati pada harta, jabatan dan kekuasaan sehingga segala cara dihalalkan. Seorang tetangga di dasan nekad pinjam uang di bank 50 juta, karena pengecutnya sejak awal datang ke bank kelakuannya seperti pengemis. Tidak hanya itu sejak mengurus surat dan meminta tanda tangan kepala kantornya dia juga harus nyembah. Orang seperti ini tidak hanya mencelakai dirinya tapi juga atasannya dan karyawan sampai direktur bank itu. Melihat orang bodoh seperti itu timbullah niat jahat dari orang yang terlibat. Uang tidak dicairkan dengan cepat. Ketika uang cair bukan peminjam yang datang ke Bank tapi karyawan dan kalau perlu kepala yang datang dengan staf mengantar uang. Si bodoh ini dengan cepat menyiapkan amplop dan menyodorkannya kepada masing masing petugas dan juga pimpinannya. Berapa banyak biaya yang harus keluar dari kantong pengecut itu?. Sesudah itu dia akan mengangsur hutang selama 10 tahun!
Pegecut seperti itu ada dimana mana disetiap pojok dasan kami, korupsi merajalela karena yang paling keras memprotespun terlibat. Para penguasa senang membuat orang jadi pengecut, makin kecut makin banyak amplop. Korupsi sesungguhnya datang dari tabiat pengecut kita. Tabiat pengecut itu bersumber dari sifat cinta mati kepada dunia dan takut mati. Sekarang dan disini kita benahi karakter bajang Sasak agar menjadi satria, yang menjunjung kebenaran dan tidak takut mati. Jangan sampai ada yang mengeluh nanti saya tidak dapat kalau tidak ikut yang lain! Semua juga berbuat begitu, saya bisa tersingkir kalau melawan. Sekarang dan disini kita hentikan darah kotor dalam jiwa kita yang membuat kita jadi pengecut! Biarlah kita hidup sederhana tapi bermartabat. Biarlah kita tinggal di dasan tapi bersih dan asri namun kita punya kapling di atas sana. Insyaallah, amiiiin.
Wallahualam bissawab
Demikian dan maaf,
Yang ikhlas,
Hazairin R. JUNEP
Minggu, 07 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar