Selasa, 03 November 2009

Sasak Pembakar Panci

[Sasak.Org] Saya memasak nasi dengan panci stainless diatas kompor listrik besar yang tak menyala. Bekerjanya seperti elemen sterikahan yang membara saat di stel on. Panci saya taruh diatas lapisan tembus pandang dan dalam waktu singkat air mendidih dan nasipun matang. Karena ingin menunggu kematangan sempurna saya tetap membiarkan panci dan pergi melihat sasak.org untuk mengetahui seberapa ramaikah pengguna yang mampir. Sudah berhari hari semua informasi dan kontentnya menjadi basi dan tiba tiba pengunjung ramai. Saya gembira melihat adanya perkembangan. Ada pengunjung dari negara yang tidak mungkin ada anak sasaknya. Pastilah mereka mencoba membuka atas rekomendasi anggota KS yang mereka kenal. Rekan rekan saya dari penjuru dunia yang saya biarkan saja emailnya berdatangan tanpa saya jawab akhirnya menemukan saya di sasak.org dan mengirim tembusan emailnya ke alamat saya di sasak.org. Saya mengusahakan sebanyak mungkin menggunakan kata sasak saat berinternet agar makin banyak entri yang masuk dan makin populerlah kata Sasak itu di dunia maya. Setidaknya menurut angan saya di internet nama sasak positif karena aktifitas tulis menulis bukan karena yang lain seperti di kehidupan dasan sebenarnya.


Saking asyiknya menonton sasak.org saya terlena dan asappun mulai mengitari ruangan apartemen, bau gosong menembus hidung dan saya sontak lari ke dapur. Mengangkat panci dan langsung menaruhnya di atas meja dapur yang menyatu dengan dinding. Asap mengepul setelah saya buka dan nasi berwarna kekuningan dan coklat tua. Celaka, saya mengangkat panci ternyata meja lengket dan saya pindahkan lagi ke sebelah dan saya lupa yang distu juga jadi lengket. Saya cepat mengambil mat pelapis dan kayu itupun gosong juga. Saya tertawa tak henti hentinya sebab saya sering merusak alat dapur inax waktu di dasan dan saya juga sering merusak alat dapur di rumah kami. Lingkaran lingkaran gosong itu sepereti lukisan anak SD yang memblad uang logam dikertas, ada yang tebal ada yang tipis tapi pinggirnya sangat hitam. Saya memilih nasi yang masih ada putihnya sebab saya tidak tahu beras ada dimana kalau mau memasak ulang. Sementara buka puasa tinggal 30 menit lagi. Kami makan dengan perasaan nek dihatiku sebab lukisan lukisan itu tajam menatapku. Kawan kawan bergurau bahwa besok akan ada perbaikan mebel dapur untuk menghilangkan gosong dan saya ditunjuk sebagai panitia rekonstruksi. Kami tertawa tapi salah seorang menegur kawan itu agar saya tak tersinggung. Saya goda mereka bahwa besok saya pesan tiket satu jalan dan tidak kembali, kawan yang tadi jadi muka merah. Saya datang dengan tiket sekali jalan maka saya pulangpun dengan tiket sekali jalan.

Pertama kali saya datang ke Jogjakarta yang saya lakukan adalah jalan jalan ke pusat kota antara jalan solo dan maliboro. Bukan untuk belanja tapi hanya untuk mengenal lingkungan. Saya mula mula menghitung jumlah gelandangan dari batas kota ke Rahayu yang sekarang menjadi Galeria mall dan saya catat paling banyak 5 orang dan di malioboro hanya 8 orang saja. Kalau di dasan gelandangan hanya satu orang yang tinggal di gubuk di pasar dekat gedung Gabimas. Dia perempuan tua bernama mbah Karsinah. Saya suka memandangnya lama lama dan bertanya mengapa orang ini begitu kasihan. Tapi jauh dilubuk hati saya, saya justru bertanya mengapa orang orang dewasa yang tiap tahun pergi sembahyang hari raya ke tugu dan bahkan para pejabat tidak pernah mengulurkan tangan untuk menyelamatkan seorang perempuar tua dari gubuk kardusnya itu?. Sampai dia mati tak ada yang menolong menyelamatkannya. Dia cukup dianggap gila titik. Gelandangan di Jogja rupanya adalah pendatang dan orang gila yang dikirim truk dari daerah lain. Semua orang tahu bahwa kabupaten lain menangkapi orang gila dan gelandangan mereka lalu mendropnya dengan truk ke daerah laian. Suatu hari saya berjuang seorang diri menyelamatkan orang gila di depan mirota kampus yang ramai, dia bertelanjang dan saya membelikannnya celana. Karena tak ada yagmenolng memegangnya saya gagal membuatnya berpakaian. Saya jadi tontonan aneh orang ramai. Mungkin saya telah dicap gila oleh mereka, sehingga tak ada yag tergerak membantu menutupi aib bersama itu. Di tempat tinggal saya ada perempuan muda yang telanjang dia baru gila dan suka bernyanyi. Hati saya teriris mendengarnya melantunkan lagu yang aneh. Saya mengajaknya bicara dia tak faham. Saya takut dia akn dirusak oleh orang yang waras tapi lebih gila dari dirinya. Saya laporkan keadaannya, tak adayang peduli. Tidak lama saya melihatnya di jembatan Tempel perbatasan dengan Jawa Tengah sangat jauh jarak yan ditempuh. Minggu berikutnya dia nongol lagi di lahan kosong biasanya di depan kampung kami. Saya masih berusaha bicara dengan orang yang berkompeten. Akhirnya perut wanita itu membuncit, terjadilah apa yang saya takutkan dan dia ramai ramai ditangkap dengan kain spanduk panjang seperti menjaring ikan. Penangkapan dilakukan oleh anak kampung dipimpin sang lurahnya. Saya kira akan diselamatkan ternya dimalam yang gelap dan berembun itu mereka membawanya ke arah timur dan saya dengar dia dibuang ke Prambanan. Beginilah gambaran manusia manusia yang telah melepaskan budi pekerti.

Orang orang yang menjadi guru kita dizaman dahulu adalah gelandangan yang mencari hikmah dibalik ayat ayat Tuhannya diantara hamparan alam, gunung, sungai dan danau. Gua adalah tempat perenungan panjang mereka. Sekarang kita hidup dalam kenyamanan luar biasa. Kita lupa mencari hikmah diantara hamparana kenikmatan yang kita akui sebagai hasil usaha sendiri. Dan bangga sekali kita dengan segala pencapaian diri disegala bidang. Gelandangan masa kini adalah buah dari cara hidup yang mengejar materi dan kesenangan diri pribadi. Panci yang gosong itu direndam dua hari dua malam, gosongnya tak melunak. Dicoba lagi dengan mengisi air sabun dan memanaskannya sampai mendidih lama tak juga melunak. Saya geli sekali dan mencoba membrinya kaporit dan sabun serta memasaknya, cara ini kami pakai menghilangkan daki handuk yang malas kami cuci di asarama. Setelah dijemur dengan sabun dan di cuci lagi maka agak bersihlah jadinya handuk kami yang kusam itu. Ketika saya masuk pasar yang berada 10 meter dari apartemen saya melihat gelandangan sedang memilah barang buangan dan disampingnya si panci yang didalamnya terukir sebuah relief kisah pembakaran kampung Sasak berwarna hitam. Saya meninggalkan monumen untuk si gelandangan, gara gara asyik nontonsasak.org.

Kalau di Jogja gelandangan yang tidak gila adalah hasil urbanisasi yang tak kuat menjadi tukang becak dan buruh kasar. Mereka konon menjual tanahnya untuk pergi mengadu nasib ke kota. Kalau gagal mereka tidak mau pulang dan menggelandang tanpa tujuan. Di kota orang yang ingin hidup menyesuaikan diri dengan persaingan jor joran gengsi menjual tanahnya atau rumahya sedikit demi sedikit dan ada banyak yang tiba tiba jadi kere diantara pendatang baru. Lama lama orang kere ini minggat juga jadi gelandangan. Di Rusia yang beku ini, setelah revolusi yang penuh benci terhadap Uni Sovyet peris seperti kawan kawan saya yang teriak histeris mencaci Pak Harto. Salah banyak dari mereka hanya sanggup berteriak memaki tapi tidak siap untuk mengadaptasi diri pada pembaharuan. Mereka tak cukup kecakapan dan ilmu untuk meraih materi yang digembar gemborkan saat soasialis. Mereka mulai menjual rumah yang dulu diterima secara gratis dari Sovyet. Dari kota sampai pelosok, rumah dibagi Cuma Cuma. Semua dibiayai sampai ditengah hutan asal mau tinggal dan mengembangkan desa. Kini mereka menjual apartemen ya ng strategis lalu pindah ke tempat yang lebih murah dan sisa uangnya untuk bersenang senang membeli alat elektronik dan mabuk. Lambat laun apartemen baru dijual lagi sebab semua madat minuman dan senang makan enak. Bukankah semua menawarkan serba enak, buat apa nunggu lama lama. Gelandangan yang menemukan panci berelief karya putra Sasak asli itu adalah salah satu korban gagal beradaptasi.

Di dasan orang muali tergoda menjual sawah dan rumah agar bisa pergi ke Malaysia untuk mengikuti sejuta manusia yang menggelandang di pedalaman dan di kota kota semenanjung melay. Orang indon yang banyak Sasaknya itu adalah para pengukir relief tentang kisah manusia yang membakar dasannya sendiri dan lari untuk membuat cerita yang lebih dramatis di seberang lautan. Kisah panci ini dapat berkembang jauh seperti sandal abunawas yang menyumpal selokan tapi tidak usah diperpanjang, sebentar lagi buka puasa. Mari kita awasi warga dasan agar jangan membakar panci berisi batu untuk mengelabuhi anaknya yang kelaparan karena uang telah habis dipakai ke malay dan pulang dilempar ke laut sebagai pendatang haram.

Wallahualambissawab

Demikian dan maaf
Yang ikhlas

Hazairin R. JUNEP


Komentar dari yahoogroup:

1

2009/11/03

Betul..betul. Setuju sama miq junep, mari kita awasi pola
tingkah dengan dasan, kita bimbing mereka agar gak ikutan
tren ber-TKI ke malaysia yang tidak sedikit sebenarnya
merupakan pelarian dari masalah2 hidup, seperti dikejar
utang, dikawin paksa atau lari dari rumah karena kecewa
dengan keluarga.

Mari...mari.. kita bimbing mereka agar jadi orang yang
bertanggungjawab terhadap, at least, diri dan keluarga.

Mari... mari.. kita semua menjadi petugas ronda malam
maupun siang hehehehe...

// Terima kasih atas perhatiannya

Salam Manis,
--
Rifki H
Teruna Sasak Si Mule Tulen Gagah
Pubs : http://www.maleficarum.net/
Contact : bajang[@]maleficarum.net

Tidak ada komentar: