[Sasak.Org] Kalau menyempatkan diri berbincang dengan para ahli momot meco di sepanjang bough dasan dan juga dengan penghuni lain yang bahkan lebih berpendidikan topik yang sering diangkat adalah tidak adanya kepeduliaan para datu kepada masyarakat dasannya. Bahkan gugatan itu sampai juga di sesangkok maya KS. Sangat aneh bahwa hal itu bisa terjadi di dasan yang sempit dengan kebiasaan berbincang sangat terbuka, tidak juga terjadi komunikasi yang baik antara datu yang dipilh sebagai penuntun dan masyarakat yang dituntun. Masyarakat dasan mengalami busung lapar, putus sekolah, pengangguran dan kriminalitas meningkat, tidak dibalas dengan kebijakan, keputusan datu untuk mengatasi semua problem yang berdatangan.
Mengapa setiap orang merasa putus asa begitu mudah dalam menyelesaikan persoalan dasan kita?. Datu merasa sedang berjuang meningkatkan kemakmuran sedang di fihak orang dasan merasa diabaikan, dibiarkan dan ditelantarkan. Para penguasa menjalankan kebijakan dengann bertindak tegas dan kalau perlu keras untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Lantas dimana kesalahannya kalau tujuan bertindaknya sangat bagus. Menertibkan, mengatur dan mempermudah adalah ancang ancang yang digariskan untuk ditindak lanjuti. Tiba tiba kita melihat balita mati mengerikan, PSK tenggelam di kali, anak jalanan lari dan datang lagi. Petani tembakau gantung diri karena terlibat lintah darat. Dan banyak sekali kejadian yang mencerminkan ketidak berdayaan para datu mengelola persoalan masyarakat kita.
Ketika Dasan sekecil Selong tiba tiba dibuat municipal, para stakeholders mendasarkan pembentukannya hanya pada kepentingan tertentu sperti memperluas kesempatan berkarir segelintir orang. Membuka parlemen baru, membuka kantor baru dan merekrut pegawai baru. Akal akalan speperti ini adalah jalan pintas yang diusahakan untuk memberi lapangan kerja tanpa mengembangkan sumber daya alam dan SDM yang menyeluruh. Mengekpolitasi sumber keuangan yang terbatas akan membuat kreatifitas mentok dan akan berputar terus ditempat yang sama. Bagaimana mungkin SDM yang sama dapat menopang sendiri kehidupan kota (municipal) dengan administrasi baru tapi sumber keungan yang menyempit?.
Demokrasi saat ini berada pada level sekedar diperbincangkan semacam pelajaran teori mesin di zaman anak dasan belum pernah melihat mesin apapun. Demokrasi sebagai sebuah cara belum mampu dipraktikkan dengan sesungguhnya. Warga dasan masih miskin dan tidak faham disuruh memilih orang yang pandai menebar pesona, membangun citra lewat media segala macam. Setelah memilih lalu ramai ramai menggerutu karena pemimpinnya ternyata sama saja dengan orang dasan biasa yang tidak begitu faham posisi, kewenangan dan kepemimpinan. Lambat laun demokrasi hanya berjalan seperti bisnis MLM yaitu teknik memasarkan bertingkat dengan komisi sedikit sini, banyak untuk sana, sedikit buat kalian banyak buat saya.
Dahulu sebelum demokrasi diperbincangkan masyarakat dapat memilih datu dengan caranya dan kehidupan dasan lebih tentram dan gotong royong. Itu sudah dulu sekali, ketika anggota masyarakat memiliki tuntunan yang pasti yaitu ketaatan pada syariat. Mereka belum pernah memformalkan dengan bentuk perda atau UU tapi setiap orang menjalankan ibadah dengan tekun. Buah dari ketaatan itu menjadikan masyarakat yang tentram dan damai. Agama tidak diperbincangkan sebanyak para TG berceloteh dengan menakuti jamaah prihal neraka jahannam. Cukup orang dengan pengajian kecil di brugax sudah dapat menjadi energi positif yang diaktualisasikan dengan basa basi yang hangat. Ketika tetangga betegur sapa saling menawarkan makanan dan begawe bersama itu adalah bagian dari adat yang mengembangkan kebersamaan. Sekarang para TG berceloteh dengan lancar soal demokrasi dan issue isme isme lain yang sama menakutkannnya dengan Neraka. Kalau neraka tempatnya jauh maka sebaliknya ancaman isme lain menggerogoti mental spiritual anak dasan. Karena terus didera ceramah membingungkan maka anak dasan menjadi apatis kemudian mencari cara sendiri yang lebih menyenangkan hidupnya. Bukan hanya lupa dengan neraka bahkan surga juga sudah tak berarti apa apa. Anak muda dasan sudah ogah belajar, orang tua mereka memberi uang berkecukupan atau berlebihan sehingga disalah gunakan untuk narkoba dan kesenangan kecil lain.
Setelah pengajian berubah jadi sekedar ritual, sebetulnya ritual dalam islam sangat terbatas dan sifatnya langsung kepada Allah. Jamaah sangat penting untuk mengembangkan sistim sosial sebagai wujud dari hablum minan nas. Mengapa ritual dibesarkan dan akhirnya menjadi ajang berniaga juga semacam MLM itu. Kiyai kecil menyetor ke kyai besar dengan mengerahkan jamaah berbondong untuk mempebesar pengaruh orang perorang. Orang yang telah mencapai kekuasaan besar baik lewat ritus ataupun politik akan meningkatlah posisi daya tawarnya. Mereka dapat sangat berkuasa sehingga banyak orang disekelilingnya memanfaatkan dengan cerdik. Setelah itu tak akan ada anggota masyarakat di luar kelompoknyua yang dapat bertemu untuk menyampaikan inspirasi.
Kalau kita ingin berubah kearah kemajuan yang berkemakmuran, maka kita harus mulai dengan diri sendiri. Kalau di dasan yang berkuasa adalah para dukun kuat maka kita harus mulai belajar perdukunan dan membuat padepokan dengan anggota yang kita bentuk sendiri dan kita kuatkan. Hanya dengan kekuatan dukunlah kita dapat berunding dengan dukun lain di dasan kita. Bahkan dengan kepala dari kepalanya dukunpun kita dapat menembus dan menundukkannya setElah kita mengetahui rahasia dukuN itu.
Sekarang yang berkuasa adalah TG, periksa saja orang disekitarnya disitu pasti penuh dengan TG kecil kecil. Berfikirlah dengan cara TG kecil kecil itu. Pelajari adat istiadatnya. Pelajari kebutuhannya kalau perlu setor jamaah dan bikin mereka menjulang tinggi tinggi kalau perlu tidak bisa turun lagi. Setelah itu tidak perlu berunding berunding apalagi mendatangi mereka bagai pengemis agar kita di dengar. Kalu kita telah beri dia singgasana setinggi tower Kuala Lumpur mana sempat dia mengurus yang dibawah. Buktinya TKW disiksa dan TKI diusir masih terus berlanjut karena suara kita sudah tidak terdengar. Kitalah yang membangunkannya singgasana. Kalau begitu kita juga sanggup membuat singgasana untuk diri sendiri dan singgasana untuk setiap individu anak dasan.
Tidak ada kompromi antara orang lemah dengan orang kuat. Tidak ada bicara antara atasan dan bawahan. Tidak ada keputusan yang menunggu anak dasan selesai dulu dengan hajatnya. Oleh karean itu jangan pernah menganggap merekA sesungguhnya sedang bekerja untuk rakyat jelata. Mereka sedang bekerja untuk dirinya sendiri. Dan engkau, wahai anak bangsa Sasak, untuk siapa engkau bekerja?.
Mari kita bangun manuisa dan kemanuisaan, sebab bila kita mengira bahwa kita bekerja keras untuk membuat sesuatu maka sesuatu itu akan musnah. Bila kita mengira kita dapat membangun tangga ke langit maka ia akan runtuh. Tapi bulatkanlah tekad untuk berbuat hanya karna Allah. Karena apa yang kita buat karna Allah maka ia akan terus terjaga dari generasi ke generasi.
Wallahualambissawab
Demikian dan maaf
Yang ikhlas
Hazairin R. JUNEP
Senin, 02 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar