Jumat, 22 Mei 2009

Sasak # 108

(Sasak.org) Selasa, 16 Desember 2008 15:47
Orang China kuno punya angka yang dikeramatkan, banyak orang mempertanyakan dan lebih banyak lagi yang bengong karena dipikir itu hanya angka penunjuk nomor rumah atau bangunan tertentu.

Angka banyak dipakai oleh manusia sebagai simbul jumlah atau sekedar nomor. Penggunaannya meliputi semua aspek pengetahuan manusia. Ada yang iseng menghitung nasib dengan angka ada yang menyihir orang dengan janji janji sejumlah uang dengan angka miliaran rupiah dan lain lain.

Kali ini aku ingin mengetengahkan salah satu angka misterius itu. Nomor 108 atau sering ditulis # 108. Mari kita coba periksa satu persatu dengan pengetahuan terbatas dan pandangan sempit seorang Sasak yang sedang menelusuri jalan berdebu jalur sutera yang membentang dari Bagdad sampai ke Beijing. Jalan kaki saja agar lama dan sehat. Lama karena memang perlu waktu panjang untuk menelusuri jalan panas di sepanjang padang pasir Asia Tengah dan juga Gurun Gobi.

Di pintu gerbang sebuah bangunan yang tinggal rongsokan bebatuan ada goresan # 108 itu. Angka yang dibuat oleh manusia mula mula adalah satu sampai 9 dan orang Maya atau orang Hindu kemudian menemukan simbul untuk Nol itu. Orang Maya dengan titik sedang orang Hindu dengan bulatan seperti telur.

Satu dalam numerology bisa berarti aku sedangkan nol adalah kosong alias tidak terbatas. 8 adalah angka terakhir untuk makhluk sedangkan 9 adalah kesempurnaan. Siapakah yang sempurna? Tidakkah hanya Tuhan yang sempurna? Ya, angka sembilan adalah simbul untuk Yang Maha Sempurna. Setelah itu kosong dan mulailah aku. Aku adalah makhluk yang tak sempurna sehingga aku harus berjalan ke angka berikutnya dan berikutnya sampai aku menemukan 8 dan berhenti sampai disitu. Aku akhirnya mentok didalam kekosongan yaitu 8 penjuru mata angin. Mayapada itu berbentuk bulat seperti nol. Mengapa demikian karena indera manusia tak sanggup memandang lebih jauh lagi, yang tampak hanya kaki langit. Ya, setelah capai berjalan aku terhenti dan mamandang segala arah 360 derajat dan aku terhempas lagi dan lagi. Hanya delapan penjuru yang kulihat. Bawah adalah tanah tempatku menempel ia tampak rata meskipun sesungguhnya bundar dan langitpun kelihatan melingkupi aku, lagi lagi melingkar.

# 1 0 8 dihitung, satu ditambah 0 ditambah delapan adalah sembilan. Siapa yang menghitung? Akulah yang menghitung bahkan terus menghitung sampai aku tak mengerti lagi. Setelah sembilan maka bertemu dengan 0. lalu mulai lagi dengan aku. Aku takut meneruskan tapi baiklah petualangan ini kita coba, siapa tahu akan memberi kita jalan lebih luas untuk mengungkap diri.

Diantara Tuhan dan kekosongan ada aku atau diantara aku dan kekosongan itu ada Tuhan. Kita manusialah yang mengatakan semua itu. Karena Tuhan tidak mengajar kita seperti mencongak di SD. Tuhan memberi kita tanda dan kitalah yang merangakainya. Seandanya kita diberi semua utuh niscaya kita gila karena tak sanggup melihat, merasakan apalagi sempat menghitung. Semakin jauh aku mencari tahu akan diri semakin aku tak mengerti. Semua terukur menurut kapasitasku yang berjalan dari satu hinga delapan. Tiap saat pengetahuan berubah dan tiap orang berbeda pandangan. Satu satunya kesamaan kita manusia adalah sama sama terjebak dalam angka angka yang sama. Atau sederhananya terjebak dalam prasangka semata.

Akulah yang mengatakan Tuhan itu ada dan ketika aku sudah hilang dalam kekosongan aku dapat berkata bahwa aku tidak ada. Lalu aku dapat berkata bahwa Tuhan juga tidak ada. Bagimana aku dapat katakan padamu bahwa Tuhan tidak ada? Sedangkan semua orang mengatakan sebaliknya. Pun juga kalau aku katakan Tuhan ada, apakah rasa adanya Tuhan apada diriku sama dengan rasa adanya Tuhan pada dirimu?

Kalau rasa adanya Tuhan atau rasa tiadanya Tuhan sama satu dengan yang lain, maka kita serta merta menemukan kedamaian. Tapi yang terjadi adalah bahwa rasa, baik ada atau tiadanya Tuhan di masing masing hati kita berbeda, intensitasnya, gelombangnya dan luasnya. Karena apa, karena Tuhan adalah rahasia terbesar hati nurani manusia. Kita tidak tahu apakah rasa cinta kita terhadap isteri sama intensitasnya, gelombangnya dan luasnya seperti cinta isteri kepada kita. Kita hanya percaya dan kepercayaan itulah yang membuat satu pasangan bertahan dan berjalan harmonis.

Iman kita kepada Tuhan, Yang menguasai kita adalah sama intensitasnya, gelombangnya dan luasnya seperti cinta Tuhan kepada kita. Cobalah meminta sesuatu kepada Tuhan dan gunakan kekuatan hati dengan penuh, kekuatan badanpun harus dikerahkan dan lihatlah hasilnya. Diantara ketiadaan dan Tuhan ada aku! Bukankah tidak ada jarak antara kita dan Tuhan? Mengapa perlu perantara ini itu? Langsung saja, ku hadapkan wajahku kesegenap kekosongan dan disanalah wajah Tuhanku ada!.

Semoga makin khusuklah kita dalam pencarian ini, bukan hasil yang terpenting tapi usaha menembus jalan sutera menuju ke tempat yang harus dituju.

Wallahualambissawab

Demikian dan maaf
Yang ikhlas
Hazairin R. JUNEP

Glossarium
Mencongak : berhitun

Tidak ada komentar: