Rabu, 27 Mei 2009

Sasak Jabakan Tua

(Sasak.org) Minggu, 17 Februari 2008 01:00
Petang itu anak-anak berkumpul di santren Dasan tempat tinggalku. Kami akan mengikuti pengajian rutin. Kalau pengajian semua jamaah khusuk mendengar dan jarang sekali ada pertanyaan. Seolah semua yang dijelaskan ustad terang benderang sehingga mudah dicerna dan semua faham dengan sempurna.

Santren atau surau itu kecil sekali, tapi dapat memuat semua ibu dan jamaah wanita se Dasan kami. Tiap Dasan ada satu santren atau setidaknya tiap bloklah. Satu blok dibatasi oleh gang yang simetris. Dasan tempatku tinggal ada 3 blok yang agak besar dan 2 sub blok di bagian selatannya. Di dalam blok ada lorong-orong tikus yang juga lurus.

Bangunan rumah sangat sederhana, rumah kami adalah yang pertama semi permanent dan tiap rumah berjarak satu atau dua meter. Di sisi jalan besar tumbuh pepohonan, bambu, kapuk, nyiur, jeranjang, nangka dan lainnya. Lampu listrik hanya ada di perempatan jalan sedang di dalam dasan gelap gulita.

Waktu antara magrib dan isa yang disebut selak isa, adalah saat paling ditakuti anak-anak. Karena terlatih ditakuti misanku yang saat ini jadi lurah itu, aku kebal dan bahkan aku sering mencari tuselax (leak). Memang aku sangat takut tapi apa boleh buat kita hidup selain bersama maling ada banyak juga tuselax. Tapi sampai tua aku belum pernah bertemu dengan tuselax kecuali mendengar derapnya saat terbang.

Malam jumat, selak isa, sangat mencekam, aku mengintip di persilangan lorong tikus dekat Rumah HM Amin Shaleh di ujung timur laut Lapangan Porda. Aku tahu keponakanku yang sudah tua-tua, maksudku jauh lebih tua dari umurku, akan segera lewat satu persatu. Mereka nakal semua dan sering menakuti aku padahal aku adalah paman mereka. Aku merangkak dan saat ku dengar langkah seorang dari mereka aku melompat ke seberang seperti kucing, aku sering disuruh lompat harimau tapi gak bisa, cukuplah aku melompati lorong. Astaga naga! Teriak korbanku, aku mengenalinya, dia adalah si Rahza yang telinganya joang. Dia lari tunggang langgang ke santren.

Lama aku menunggu mangsa lain tapi tak ada, sialan bulu kudukku mulai berdiri, kuliat ujung rumpun bambu berayun-ayun dan suaranya gemerisik. Aku mulai takut, meski aku membaca surat Al Fatiha tiga kali hatiku belum tentram. Cerubek Bawi (megaphone) sudah berkoar mengundang orang pengajian.

Aku tiba di santren, ternyata keponakanku yang lain sudah disana, rupanya mereka lewat sebelah utara melintas di depan rumah TGH Zainal Abidin dan ke kanan di depan toko Amax Kaka Muhit. Mereka mendengar dengan gegap cerita si Rahza yang joang itu. Katanya dia ditakuti macan yang melompat di lorong selatan. Aku diam saja, aku tak melihat macan waktu dia lewat. Lagipula mana ada macan di Lombok.

Malam itu hatiku sangat tersentuh mendengar kisah nabi Yusuf AS. Pak Ustad menguraikan kisah itu dengan penuh perasaan sehingga aku terseret ke masa entak kapan. Aku berpendapat bahwa aku adalah Yusuf kecil dan keberanian Nabi Gagah itu aku kagumi. Aku akan berbuat seperti Yusuf AS yang dibuang di sumur. Aku ngeri membayangkan bagaimana ia bertahan ketemtem di air sumur. Setelah besaran dikit aku baru tahu sumurnya kering. Pak Ustad tidak bilang sumur itu kering kerontang. Jadi semalaman aku tak tidur membayangkan Nabi keselem.

Ustadku itu sangat baik tapi kalau ada anak usil marahnya tak terkira. Mungkin darah mudanya yang membara, istilah itu aku ketahui setelah dengar lagu dangdut Oma Irama, lama kamudian. Kami diajarnya membaca Al Qur’an dan dituntunnya Shalat dengan memahami nakna bacaan secara hafalan. Bodohnya aku tak kunjung dapat menghafal arti Al Fatiha dan ayat pendek lainnya. Cara mengajarnya sangat berlainan dengan caraku belajar. Aku cendrung menyendiri dan melahap buku sedang kami harus belajar ramai-ramai. Aku tak biasa berebut dan rame begitu.

Aku agak terhambat belajar di santren, dasar aku petualang kecil, tiap giliran diperiksa bacaan per satu paragraph, aku sangat bosan menunggu giliran, maka aku membuat quiz sendiri sama teman kiri kananku. Aku menyebut huruf hijaiyah satu persatu temanku harus menebak kata apa yang kumaksud. Teman-temanku sangat menikmati tebakan itu karena kata yang kupilih adalah kata yang dikenal dan harus lucu.

Fa! Fa! Kof! Kataku, temanku bertanya Fa atas atau bawah atau dapen? Maksudnya fatah, kasrah atau domah. Aku akan menjawab mana yang aku suka. Maka tebakan jitu tak ada kata lain yang lebih tepat dari pada Papux karena P tak ada dalam bahasa Arab. Aku tak mau menyebut kata yang lebih lucu lagi karena akan membuat sakit perut kalau banyak tertawa. Tapi Setan kecil yang ikut quizku gak tahan mereka tertawa sampai ustad marah…

Tiba-tiba aku mendengar desingan benda terbang tak teridentifkasi (UFO) melintas bagai kilat ditelinga kiriku, setelah itu di depan hidungku. Rupanya bukan UFO tapi jabakan tua dari nyiur kosong yang bentuknya lonjong kayak kapal selam. Ustad melempari kami dengan Jabakan. Tak terbayang kalau sampai kena salah satu bisa bonyong atau pegat kepalanya. Jabakan adalah alas untuk Al Qur’an, dibuat dari kelapa yang kosong dan di bentuk kurva diatasnya sehingga buku dapat dibuka waktu membaca.

Besoknya aku memboyong adikku mengaji ditempat lain. Aku berpindah sampi pecok dari satu santren ke santren lain. Aku gini-gini santrinya Tuan Guru H Zainal Abidin juga. Akhirnya Ayahku jengkel sekali, karena tiap dicek ke santren satu beliau tak ketemu batang hidungku, sebab hidungku kubawa kemana-mana dan belum pernah ketinggalan. Masuk lagi ke santren berikutnya aku juga tidak ada. Bagaimana mau ketemu, aku sedang nonton James Bond untuk usia 17 tahun sedangkan aku baru kelas 4 SD.

Penjaga Bioskop yang kebanyakan dari Kompi C aku akali, badanku yang kecil tak diliat waktu menyelinap dibelakang orang dewasa. Jahanam aku tak mengerti mereka ngomong apa di film itu tapi tembak-tembakan seru dan adegan percintaan aku gak faham itu.

Suatu malam Ayahku menangkapku di Bioskop dan menyeretku pulang, Beliau ambil jabakan dari rak, aku kecut sekali kukira akan di keprukkan di kepalaku. Lalu Ayah keluar dari kamar dengan Al Qur’an besar dan di pasang di depanku. “Baca” perintahnya, bulu kudukku berdiri, Allah berfirman: “ Bacalah dengan nama Tuhanmu…”.

Sekarang Ayahku bertindak sebagai tuhan di depanku. Aku baca Alqur’an itu dengan ta’zim, setelah beberapa saat Ayah pergi dan belakangan sekali aku tahu beliau menitikkan airmata mendengar aku menbaca SURAT YUSUF yang aku sukai itu.

Ayahku mengira aku tak dapat mengaji selama ini.

Beberapa minggu kemudian aku diundangkan beberpa guru ngaji untuk menghatamkan Al Qur’an. Aku tidak hatam di masjdi atau santren tapi di rumah. Ayahku menamkan perinsip yang kuat bahwa belajar dapat dimana saja asalkan sungguh sunguh dalam melasanakannya.. Jabakan tuaku sudak tak ada karena rumah tua kami telah kurobohkan dan kudirikan mushalla kecil agar orang dasan dapat belajar disana.

Diperpustakaanku aku menyimpan jabakan yang persis sama dengan UFO yang terbang di depan hidungku dulu. Aku mendapatkannya di kali dekat ruamahku. Orang Lombokpun tak tahu barang apa itu, karena Jabakan adalah monument masa silam. Aku menyimpannya dan bercerita pada keluargaku mengenai kapal selam kecil itu . Jabakan boleh lenyap, tapi tradisi mengaji (belajar) jangan sampai melayang dari gumi Selaparang.

Wallahu alam bissawab

Demikian dan maaf,
Yang ikhlas

Hazairin R. JUNEP

Glossarium:
Ketemtem : tenggelam dengan mengeluarkan buih dipermukaan air
Keselem : tenggelam
Jabakan : rehan, standard buku
Pecok: penyok, remuk, berantakan
Pegat : putus, terpenggal

Tidak ada komentar: