Sabtu, 23 Mei 2009

Sasak Napoleoniyah

(Sasak.org) Selasa, 18 Maret 2008 01:00
[…Kamu NW?. Tidak. …Kamu Muhammdiyah?. Tidak?… Kalau begitu aku tahu, kamu NU… kan?. Tidak lah yao… Saya juga bukan HTI, bukan SI atau Parmusi, saya adalah asli SASAK NAPOLEONIYAH Bin Amax Kangkoeng!…]

Saya tak ada niat berdebat kusir tapi saya katakana bahwa TG dalam tulisan saya sebelumnya dan seterusnya mewakili siapapun yang menjadi pemimpin dalam agama Islam khususnya di LOMBOK. Tidak ada juga maksud menyindir salah satu, tetapi untuk semua. Pernah saya katakan mengenai sejarah, mengapa terjadi khaos pada Ummat Islam. Dikit dikit khaos! Inilah yang tidak disadari Ummat, bahwasanya kita sungguh sungguh telah dizalimi, dengan berbagai rekayasa tangan tangan Barat, dalam rangka agar mereka terus menerus menguasai kita dalam arti dari segala segi kehidupan.

Apapun dilakukan agar kita jangan sampai bersatu dan kuat. Jangan jagan tokoh religius kita juga sudah dikooptasi oleh kepentingan neoliberalisme. Lihat pendidikan kita makin menghilangkan pendidikan agama. Dahulu budi pekerti di hapus katanya sudah masuk Akhlaq yaitu salah satu cabang dalam mata pelajaran agama Islam bersama ibadah, tarikh dan B. Arab. Sekarang tidak ada yang sedetail itu. Kita menganggapnya suatu kemajuan, karena kita minder jadi bangsa bodoh. Kenapa bodoh? Karena dijajah dan dizalimi 500 tahun. Apa saja yang keluar dari mulut kita harus sesuai dengan pendapat guru kita sang penjajah. Mengapa Ekonomi kita dihajar krisis? Karean kita diatur segelintir orang. Kita ummat Islam mayoritas maka pangkat tertinggi sekedar MAYOR itu tadi, sedangkan Jenderalnya Orang lain…rasain kalian bangga sekali cuma jadi mayor…

Saya adalah generasi terakhir yang diajar budi pekerti dan pendidikan Agama Islam lengkap dengan Lima macam buku catatan… Sekarang orang tua dirumah tidak ambil pusing apakah anaknya mengaji atau tidak. Kita jangan asal tuding salah mengajarkan agama. Dahulu guru kita beloon beloon tetapi mereka tulus dan mereka mengajarkan impian impian mereka untuk melakukan kebaikan bagi kemaslahatan ummat manusia.

Mengapa diajarkan sifat Allah yang Baik dan yang Jahat. Guru zaman dulu tak mampu memahami bahwa sifat itu adalah pasangan tak terpisahkan. Dan keduanya selalu ada dalam kehidupan manusia. Allah dengan kemaha asihnya mau disebut apa saja oleh, manusia yang terbatas akal fikiran dan bahkan khayalannya pun sesungguhnya tak sanggup berfungsi manakala hendak menggambarkan Allah. Karena keterbatasan guru maka yang dipegang adalah hal hal pokok!

Mari kita lihat bagaimana guru matematika dan bahasa mengajar. Jujur saja apa yang anda ingat selain dari pada rumus? Untuk apakah rumus rumus itu? Agar kita dapat mengeksekusi problem itu. Agar kita dapat memecahkan masalah. Jadi kebanyakan dari ita pandai dalam hal pegang rumus. Saya yakin pembaca pasti ahli kalau disuruh memformulakan kalimat yang lengkap baik dan benar dalam BI. Tapi berapa orang dari
kita sanggup menuangkan ide dalam tulisan yang panjang, rapi, teliti, jelas dan cermat?

Kalau engkau ingin mengerti gelapnya malam, lihatlah siang. Kalau engkau ingin tahu indahnya hidup sehat cobalah sakit. Kalau engkau mau merasakan makanan enak, cobalah yang tidak enak. Jadi bagaimana kita terus menerus menyalahkan salah satu sifat yang diperkenalkan dan kita temui saban hari?

Apakah setelah merasa sakit, makan tidak enak, dan mengalami kegelapan malam, jadikah kita serta merta hanya memilih ketiganya dalam hidup ini dan hanya condong kepada ketiga hal itu? Justru sebaliknya kita jadi menghindarinya karena kita telah mengalami. Jadi sederhana bukan? Masalahnya adalah bahwa guru kita telah gagal memberi kita pengalaman dalam proses belajar. Bagaimana mau maju, berilmu dan memahami orang lain? Modalnya hanya rumus sih.

Mari kita lihat lagi contoh sederhana lainnya. Waktu saya ikut ikutan latihan bela diri. Semua anggota kajuman luar biasa. Masing masing ingin mencoba jurus jurus maut untuk mengalahkan lawan. Itu karena anak anak terpesona oleh jurus jurus yang sebenarnya dapat diumpamakan rumus rumus itu. Guru silat bukanlah guru, mereka juga sama mentahnya karena baru beberapa bulan dilatih disulap jadi Dan 1. Coba tunggu setahun dua, mereka lelah dan makin matang, maka bila sampai waktunya akan ada kemewahan yang disebut kesadaran. Mengapa mewah karena hanya manusia yang punya kesadaran. Kesadaran itu didapat melalui waktu dan proses mengalami yang rumit dan abstrak. Apakah ajaran agama yang diperoleh sempat melewati waktu dan proses mengalami? Sungguh diragukan, karena masing masing diberi pengajian sesudah itu dilibatkan pada masalah profan. Dukungan politik, sumbangan dsb.

Kalau disekolahan lain lagi, anak anak belajar hanya untuk nilai ujian. Niat sudah beralih pada hal hal yang sangat praktis. Pendalaman makna sebuah ajaran tak akan sampai ke hati. Padahal pendidikan itu bertujuan membentuk watak yang kuat dan benar. Ayolah, kita semua tahu sudah tak adalagi guru di sekolahan gumi serlaparang ini. Mereka hanyalah pelatih atau instruktur dan pengajar. Pengajar hanya mentransfer informasi. Pelatih hanya memberi keterampilan tertentu. Guru adalah pendidik yang membimbing kepada pencapaian ilmu yang makin luas dan tinggi disertai akhlak yang mulia dan buahnya adalah amal Sholeh dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi guru berada di sisi spiritual kehidupan manusia.

Bagaimana mungkin, TG atau Ustad atau Pengajar yang berasal dari murid murid dengan kemampuan akademis dibawah kebutuhan minimal, dapat membimbing anak manusia ke pada kemuliaan hidup? Lihat baik baik berapa orang yang berbondong bondong melamar jadi guru honor? Mereka seharusnya mencari pekerjaan lain karena tidak patut membimbing anak manusia, sebab apa?. Karena mereka cari hidup saja susah, tidak cukup kecakapannya untuk bersaing didunia kerja lain. Dan kalau orang sperti itu mengajar maka buahnya adalah SDM yang tak bermutu, sehingga Bangsa Sasak terus menjadi maling, TKI ilegal dan anak anak serta orang tua jadi korban Busung lapar dan TBC.

Bangsa Sasak merasa modern mengikuti hukum asing bin aneh yang diimpor dari Barat dan mencampakkan Hukum Syariat yang sangat sesuai dengan kodratnya. Bagaimana mungkin Syariat Islamiyah dianggap lebih rendah dari pada Syariat Napoleniah. Bahkan nama hukum itu saja mereka tidak tahu, tetapi sangat bangga menjalankannya. Marilah kita belajar melihat segala sesuatu dengan jeli, mana yang merusak ummat singkirkan mana yang membangun ummat, perbesar dan kuatkan. Kalau kita mau mulai dengan pendidikan akan lebih baik, tetapi membiarkan pengajar tidak kompeten masuk sekolahan/madrasah atau institusi lain, adalah kehancuran.

Bagaimana sesungguhnya Guru dalam tradisi Islam? Saya pernah dengar bahwa dizaman keemasan Islam, guru digaji tinggi dan diberi rumah dan kendaraan. Guru di zaman itu adalah ulama. Ulama yang sungguh akhli disegala bidang. Bagaimana kita mulai, komunitas Sasak dapat merintis Sekolah calon Guru untuk pendidikan ala Sasak. Gurunya sekurang kurangnya telah melewati pendidikan formal atau non formal. Dan sedikitnya telah membaca buku umpama 100 judul pertahun, jadi kalau yang direkrut setingkat S1 maka harus telah membaca 400 s/d 500 judul buku minimal, dibidang yang ditekuni atau segala bidang. Dan kemudian sanggup menuangkannya dalam silabus beserta buku pegangan pelajar.

Mendidik berarti memberi kesempatan kepada patner didik untuk mengalami ilmu dalam kenyataan. Pendidikan hendaknya diarahkan menjadi proses yang penuh konflik, tidak seperti sekarang semua consensus. Pengajar berdiri dan bicara di depan patner didik hanya setuju setuju. Belajar bukanlah mencatat dan melupakan setelah ujian, karena bila terus berlangsung demikian, cocoklah sudah peringatan Nabi Kita bahwa kelak ummat yang selamat sangat sedikit. Jumlahnya bagaikan bulu putih pada sapi hitam.

Mula mula marilah melihat dari sudut Islam saja, jangan pakai Syariat Napoleniah kalau mau menyelesaikan masalah Bangsa Sasak. Buatlah mereka bangga menjadi Sasak Muslim yang besahaja. Maju Jayalah Bangsa Sasak!

Wallahu alam bissawab
Demikian dan maaf,
Yang ikhkas,

Hazairin R. JUNEP

Tidak ada komentar: