Rabu, 27 Mei 2009

Sasak Membuat Kapal Terbang

(Sasak.org) Sabtu, 16 Februari 2008 01:00
Dahulu sekali ketika Pak Bedor menjajakan bakso sambil memukul mangkok, keliling dari kampung ke kampung. Harga baksonya hanya Rp.10,- dollar amerika mungkin Rp.200,- saat itu. Kalau direktur BRI, mengundang orang-orang berpakaian rapi makan malam, kulihat mereka makan mi instant, yang masih langka di masa itu. Aku tahu semua karena aku anak kecil yang senang bertualang.

Masjid kebanggaan warga Selong hanya satu yang besar yaitu Masjid Mbung Papak. Desa khusus kota Selong, seperti disebutkan oleh tokoh penting saat itu, Bapak HM Amin Shaleh, dibagi beberapa dasan dan ada dua mbung papak, timur dan barat. Bagi orang Kampung Jawa dan Kampung Sembilan, kami penduduk Mbung Papak adalah orang udik. Karena kalau mereka hendak ke tempat kami mereka mengatakan pergi ke DASAN.

Jalan yang punya nama seingatku adalah dua saja, Selain jalan raya itu, ada Jalan Muhdar yang pendek, membentang dari masjid Mbung Papak sampai perempatan telkom, di depan telkom itulah banyak kantor tempatku betualang bagai agen CIA kecil. Yang kedua ada Jalan Manis. Jangan kaget, jalan Manis ini sama sekali tidak manis. Bentangannya panjang dari lapangan Bayangkara sampai kuburan umum. Dan disepanjamg kiri kanannya ada parit. Aku sudah bilang tidak manis, bukan tidak ada gadis manis disana. Pemandangannya yang tidak manis, bagaimana tidak, sepanjang tepi jalan, berhadapan njampen orang berak sesukanya. Kalau ada air masih lumayan tapi kalau tak ada air ya …ampuun. Alangkah buruknya perilaku manusia, bukankah kebersihan adalah bagian dari iman?

Penduduk disepanjang jalan ini mungkin banyak menanggung beban mental. Di ujung barat terletak Resot Polisi yang terkenal tempat menyiksa orang. 399 meter ke timur ada penjara tempat menyekap pongoran yang berseragam biru tua. Dan 299 meter dari penjara ke timur ada kuburan umum.
Anak-anak sering saling olok-olok, atau saling menakuti. Kalau sampai dilaporkan polisi atas kenakalannya mereka akan disiksa dan disel lalu dikirim ke penjara untuk disiksa lagi dan dikirim ke kubur dengan seragam biru. Malang sekali nasib orang dasan itu.

Pongoran yang menghuni bui Selong setiap hari dipongor membuat batu bata, di sebelah barat daya Lapangan Porda. Aku sering mandi dengan batang pisang di kali dekat keren bata mereka. Kulihat mereka makan ubi atau jagung. Ada beberapa kali pongoran melarikan diri, tapi kebanyakan kembali sendiri. Mereka tidak sampai hati menyusahkan pengawasnya yang berwajah teduh dan tak pernah marah. Kadang aku mendekati keren dan pengawas itu dingin tak bereaksi. Mungkin tempat kerjanya yang kelam mempengaruhi jiwanya jadi biru. Kalau siang mereka tetap bekerja kecuali makan dan shalat. Mereka tak pernah shalat berjamaah. Mungkin takut terseret di akhirat sebagai teman maling karena berjamaah semasa hidupnya dengan pongoran.

Tiap subuh aku selalu terjaga mendengar paggilan azan yang sangat indah. Cerubek Bawi (megaphone) sudah ada dan suara Papux Enab sang Merebot, berkumandang 5 kali sehari kecuali ada relawan yang lain menggantikannya, Ia bertindak sebagai imam dan sekaligus muazzin. Papux juga bekerja sebagi penjaga kebersihan dan mengawasi kolam. Kalau di desa mereka menggunakan corong dari seng untuk azan dan khotbah.

Hobiku bertualang sering bentrok dengan kedisiplinan Papux mengurus masjid itu. Aku sering lari kencang dan mencebur ke kolam dihari yang panas atau hujan lebat. Air kolam jadi kotor. Meskipun aku sudah menyelidiki keberadaan Papux, tapi ajaib dia selalu ada ketika aku mencebur dan membuat kolam kotor. Dan Tib-tiba Papux sudah berdiri dipintu masjid dengan pemukul beduk, menghardik kami dan melempar tongkat itu bagai pemain kasti nasional. Benturan tongkat itu meledak didinding kolam, aku dan anak lain melompat lari lintang pukang, meninggalkan pakaian kami… telanjang bulat bersembunyi di rumah. Setelah reda kami kembali, biasanya saat akan azan.

Kami mengambil pakaian dan wudux bersam Papux, oh betapa teduhnya wajah beliau, tak ada benci sama sekali padahal sejam dua jam yang lalu aku porak porandakan telaga kesayangannya. Kamipun sholat berjamaah sambil tertawa-tertawa tak tahan mengingat kelakuan kami.
Aku punya kenangan yang sangat indah saat bulan puasa, Papuk membagikan bantal (ketan berisi pisang raja) pada tengah malam saat tadarus dimalam Ramadan. Aku tidur pulas, kakakku menjejalkan bantal dimulutku, aku terbangun, kulihat Papuk mengaji terus.
Siang hari Papux aktif mengolah sawah diseputar masjjid. sekeliling kolam ditanami cabe dan kemangi. Penghuni asrama tentara di Embung, sering meminta sayuran pada Papuk.

Suatu siang ada anak tentara yang datang, dia berkata: Papux, saya disuruh ibu minta kemangi”. Papux, Tanya: “ apa?” anak itu mengulangi dengan pelan dan jelas ” Ibu menyuruh saya minta kemangi Papux?”
Papux yang tak begitu pandai berbahasa Indonesia menjawab dengan nada yang penuh welas asih : Nak, buang dirimu di telaga!” anak itu lari pulang karena takut. Bagaimana mungkin Papux menuyuruihnya lompat ke kolam sedangkan dia perlu kemangi.
Ahirnya, ibu anak itu datang, dan Tanya kenapa Papux marah adakah anaknya membuat kesal. Papux bilang tidak. Maka ibu itu bilang : saya mau minta kemangi, papux”.
“ Oh ya, silax kemangikan dirimu disana!” Ibu itu bersungut-sungut pergi memetik kemangi.

Masjid kebanggaan kami punya dua hal lagi, selain kolam yang kubuat comberan itu. Papux Enab dan Kapal terbang. Aku selalu duduk bersama misanku yang sekarang jadi lurah itu. Kami mengamati pesawat terbang yang menghiasi atap masjid, warnanya putih terbuat dari semen. Di dunia ini hanya masjid kami yang bisa didarati pesawat terbang. Arsiteknya tentu berpikir bahwa Agama dan kemajuan (sains dan teknology) harus jalan beriringan. Sebuah pemikian ultra modern bagi masyarakat udik seperti orang dasan kami. Tak kusangka kami telah hidup bersama pemikir besar di tempat terpencil itu.

Aku selalu memimpikan terbang mengelilingi dunia ini. Sepuluh tahun kemudian aku benar benar terbang dengan Singapore airlines yang terbesar pada masanya. Aku selalu ingat papux Enab. Ia selalu memanggil jamaah diantara azan dan iqamah: “Semeton jari inax amax, silax te pade shalat berjamaah, tunax awal waktu!” Diulangnya beberapa kali dan hanya tiga empat shaf diwaktu siang dan banyak diwaktu malam dan subuh.
Sekarang tidak ada lagi pesawat, masjidku tersayang telah hilang, dan diganti Kubah besar sekali. Aku mengenang Papux dengan suara yang parau menghimbau untuk shalat di awal waktu. Aku ingat orang-orang memenuhi shaf, wajah mereka tenang bersih dan tunduk.

Sekarang kemajuan telah dicapai, tak ada lagi yang njampen di pinggir kali, semua bergerak lebih cepat. Masjid-masjid dipenuhi untuk sekedar senam bersama 5 kali sehari.
Wajah –walah tak lagi teduh, kehidupan makin rumit, pengemis, pengangguran dan kriminal, tumbuh subur..
Bagaimana, harus kukatakan, betapa malangnya nasib tanah leluhurku, betapa hancur perasaanku. Anak-anak Sasak sedang menuju kehancuran yang tiada disadarinya. Ustadku memilih jadi pegawai, guruku telah berpulang, TUAN GURU telah tiada, mimbarnya tak pernah terisi. Siapa yang akan menjaga warisan leluhur yang mulia ini.
Semua bertarung dalam arena, tak ada wasit… waktu berputar dan akan menggilas tanah Seleparang jadi serpihan sejarah yang terlupakan.

Wallahu alam bissawab,

Demikian dan maaf,
Yang ikhlas

Hazairin R. JUNEP

Glossarium:
Njampen : nongkrong, jongkok ditepi selokan
Pongoran : narapidana
Pongor : dipaksa kerja
Buang (bauang, bau) : petik, dapatkan

Tidak ada komentar: