Sabtu, 23 Mei 2009

Sasak Berikrar

(Sasak.org) Rabu, 09 April 2008 01:00
Siapa yang membuat slogan mestinya sudah tahu dan faham akan apa yang ingin dicapai. Slogan partai politik yang teriak “akar rumput” pasti bukan untuk mencari akar wangi untuk menghias kampanyenya. Tetap mereka bermaksud merangkul rakyat jelata dengan memamerkan betapa meraka adalah pengayom rakyat jelata. Bahwa tanpa akar yang kuat tidak ada artinya rumput hidup.

Kemudian untuk menyebarkan slogan itu harus dibagikan pamplet berupa lembaran tulisan besar dan kecil yang mengembangkan ide besar dari slogan itu. Kalau slogan dapat dianggap sebagai visi maka pamplet dapat mengejawantahkannya dalam bentuk misi yang sekiranya dapat diwujudkan dalam action kelak.

Lombok mempunyai motto atau prinsip yang tertuang dalam kata kata yang mencerminkan visi masyarakatnya agar meberdayakan semua sumber dan kekuatan dalam rangka mencapi cita cita bersama.

Lombok Barat adalah yang paling dahulu mengangkat motto Patuh, Patut, Patju (pacu), dengan harapan besar bahwa visi itu akan termanifestasikan lewat misi dan aksi dalam pembangunan masyarakat. Patuh adalah taat azas, konsisten, tunduk atau tawaddu’. Patut adalah sopan, bersahaja, sesuai, proper. Pacu adalah rajin, tekun dan pantang menyerah.

Lombok Tengah mencoba mengetengahkan visi yang lebih cerdas lagi yaitu Tatas, Tuhu, Trasna . Karena masyarakat memiliki kebiasaan hangat-hangat tai ayam rupanya perlu didorong agar TATAS artinya segala sesuatu harus tuntas dengan kerja yang cerdas. TUHU diperlukan karena bagaimana mungkin seseorang dapat tuntas bekerja tanpa ketekunan seperti Eddison yang menerangi dunia dengan listriknya?. TRASNA adalah karakter dari kedua visi sebelumnya. Tanpa rasa kasih bagaimana seseorang dapat mengabdi, tekun dan cerdas dalam membangun masyarakat luas?

Lombok Timur, seperti manusianya yang berwatak sederhana dan terus terang. Mereka mengajukan visi Patuh Karya. Karena masyarakat berkeyakinan bahwa manusia yang patuh yaitu yang tunduk, sami’na wa ato’na adalah manusia sejati. Oleh karena itu tidak ada lain kecuali mengerahkan seluruh tenaga untuk bekerja bahu membahu dalam membangun manusia dibidang material dan spiritual.

Motto harus menggunakan bahasa tinggi, belum pernah ada bangsa menggunakan selera pasar dalam memancang visinya. Orang Belanda dan Inggris saja mengunakan Bahasa Perancis dalam mottonya. Bangsa Indonesia memakai bahasa Sangskerta. Isinya merupakan tekad bulat sebuah bangsa dan dipajang pula dalam dokumen kenegaraan. Sudah tentu sebagian rakyat juga tak tahu menahu soal motto itu. Karena yang utama adalah apapun yang menjadi kebijakan pemimpin harus merupakan pencerminan motto itu.

Mengapa kelihatannya slogan tidak sampai tujuan kecuali jadi pajangan di tepi jalan untuk pamer sekedar membanggakan diri? Semuanya kembali kepada siapa yang menjadi pemimpin pada saat itu. Ibarat orang muslim yang sholat tetapi tak tahu apa yang dibalik sholat itu bahkan niat saja tidak faham. Demikian gambaran pemimpin yang bercokol diseantero Lombok. Mereka tidak tahu apa yang tertera dalam visi yang kalau dalam agama islam disebut sebagai niat. Kalau ada visi atau niat yang salah maka misi dan aksi akan keliru dan tidak akan mencapai tujuan bersama, bahkan bisa menimbulkan konflik berkepanjangan. Pemimpin yang tidak berakar di masyarakat, tidak dapat membaca niat bersama dengan baik. Apalagi kalau pemimpin itu dikendalikan oleh kelompoknya seperti partai dan organisasi yang selama ini membesarkannya.

Kalau seseorang akan diajukan menjabat suatau posisi tertentu harus melalui tes kelayakan, mengapa para calon pemimpin di Lombok tidak melewati ujian semacam itu? Disitulah akan ketahuan seorang itu adalah politisi busuk, negarawan, pemban atau babu partai dan organisasinya. Harus dikorek sampai sedalam mungkin mengenai pemahamannya akan visi daerahnya itu. Orang Amerika menggunakan jalur konvensi untuk menggasak siapa saja yang berani maju jadi calon pemimpin dengan begitu khalayak dapat membaca siapa dan kemana arah sang kandidat bila kelak memegang amanat. Pengalaman babak belur selama konvensi yang merupakan kawah candra dimuka adalah bekal paling hebat yang menempa besi karat menjadi baja.

Motto adalah kristalisasi dari pengalaman jasmani dan rohani dari generasi ke generasi. Bukan sekedar pajangan tetapi niat atau sumpah yang menjadi jiwa dari seluruh perjuangan dalam memajukan peri kehidupan rakyat dan negara. Slogan bisa kosong tetapi niat atau sumpah tidak mungkin diabaikan begitu saja. Seandainya Gajah Mada tidak bersumpah ” amukti palapa”, sangat diragukan bahwa dia dapat mencapi cita cita besarnya menyatukan Nusantara kita ini.

Rahayu Pemban Selaparang!

Wallahualambissawab.

Demikian dan maaf
Yang ikhlas,

Hazairin R. JUNEP

Tidak ada komentar: