Sabtu, 23 Mei 2009

Sasak Menanti Rembulan

(Sasak.org)Sabtu, 08 November 2008 20:56
Namaku Zafnat Falea, aku lahir dan besar di negeri kecil Sasakistan, negeri orang Sasak. Negeri ini hanyalah sebuah pulau seluas 4500 km persegi dengan penduduk padat yang tidak habis habisnya aku hitung. Aku menghabiskan masa kecilku samapi remaja dari satu dasan ke dasan lain dimana tinggal keluarga besar kami. Klan kami sungguh besar dan meliputi semua klan Sasaki. Memang sesungguhnya kami saling bertalian darah satu dengan yang lainnya. Aku merasa beruntung karena aku mempunyai saudara disetiap titik yang mana saja dari kelompok lima masyarakat Sasaki yang dibikin kemudian untuk keperluan ilmiah oleh orang orang yang hobi kegiatan akademis.

Bangsaku dikotak kotakkan dalam garis geopolitik imajiner dan berdasar dialek bahasa kami. Biarlah para akademisi iseng itu mengatakan apa saja, tapi bagi klanku kami hanyalah satu, ya satu itu, satu Sasak yang metunggal aji sopox itu.

Aku mulai hari hariku di dasan kecil di Selong, kemudian kuhabiskan hari selanjutnya di Labuhan Haji, Poh Gading, Korleko. Kemudian; Karang Sukun, Dasan Agung, Gomong, Kembang Kerang, Gunung Sari, Narmada, Keruak, Pujut, Labuhan Lombok, Sambelia, Meringkik, Ekas, Lembar dan Ampenan sampai Gondang dan Sembalun.

Sebagai seorang Sasak aku telah minum air dari semua sungai yang mengalir di Sasakistan, air Segara Anak yang mengalir ke Gawah Toya sudah pula kucicipi, pun pengembul Teminyak telah membasuhku berkali kali. Kelor kelentang, lebui, cotek, cumi, kima dan bahkan hiu dan pari dari segenap lautan yang mengelilingi Gumi Lombok dan juga daging menjangan datang mengunjungki dari hutan hutan lebat Sasakistan.

Kau pikir namaku aneh bukan?. Nama nama kami adalah nama kuno, kami menyebut Ibu kami Ianx sebagai titisan dewi Inanna dari Sumeria. Amaxku seorang petani, sangat sederhana dengan petak kecil seluas 35 are dan memontong kecil sebagai gardu pandang ke lembah dan bukit disebelah barat, tempat tenggelamnya sang surya. Kami adalah marhaenis sejati yang berdikari dengan rahmah Allah yang memberi tanah subur dan panen melimpah. Aku lahir sebagai anak keenam. Kakakku aneh semua, ada yang kawin muda, ada yang asyik bekerja tak punya anak saking lamanya mosot dan setelah berkeluarga tak ada yang dilakukan kecuali mengumpulkan harta benda dan mengisolir diri dalam kepicikan otaknya yang kecil.

Ayahku seperti semua saudaranya adalah manusia idealis, dia merasa diri sebagi salah satu nabi besar, tapi ragu menamakan anaknya yang tertua sebagi nama putra nabi. Tidak seperti Amax kake, anaknya yang tertua dinamakan Ismail dan yang keduanya Ishak. Dia merasa diri sebagai Ibrahim tentu saja. Seorang mukmin hendaknya mengidentikkan diri sebagai nabi agar kuat ikatan bathinnya kepada akidahnya. Dikeluarga kami hanya aku yang dibebani nama nabi. Ayahku tak berani memberi nama berikutnya dari keluarga nabi yang dipilih, tak ada adikku yang bernama Benyamin atau Yahuda, mungkin takut anak cucunya menyerupai perilaku Yahudi. Karena melihat bangsa Sasak sekarang yang sudah makin meniru kelakuan orang Israel yang merepotkan dunia.

Repotnya amaxku menginginkan aku besar seperti Nabi hebat yang membuat konsep ekonomi terpadu pertama di dunia itu. Nabi itu menyelamatkan Bangsa Mesir dari busung lapar. Bagaimana aku hendak meniru Nabi hebat itu, tak ada padang pasir yang harus aku taklukkan. Tak ada kekeringan 7 tahun, lagi pula parasku bagaikan tengkulak dibanding manusia tertampan di pelanet ini. Pokoknya jauh panggang dari apilah.

Tapi amaxku berkata lain, paras boleh seperti tengkulak pesok, tapi kita bukanlah benda sembarang benda atau makhluk sembarang makhluk karena kita dikirim ke bumi dengan misi suci. Kita adalah khalifah untuk zaman kita, untuk bangsa kita, untuk dasan kita, untuk klan kita, untuk keluarga kecil kita atau setidaknya untuk diri kita. Khalifah dengan wajah tengkulak tidak apa, tapi hati semulia nabi itu perkara usaha dan jihad. Aku takut sekali dengan cakap amax yang terus menempaku jadi Zafnat Falea sesungguhnya.

Ketika amax mengeluh betapa mahalnya biaya pendidikan untuk kami yang banyak, aku usul padanya agar bicara pada kakak kakaku atau keluarga lain agar bekerja sama membangun SDM. Sampaikan wahai amax agar saudaraku mau menyisihkan 10% dari penghasilan mereka untuk mendukung kami dalam pendidikan. Amax tak sanggup bicara, kata katanya habis ditenggorokan.

Kami menjual sedikit sedikit tanah yang dibeli dengan susah payah agar aku dapat pendidikan terbaik yang mampu kami maksimalkan. Setelah aku merasa kuat aku pergi merantau mencari ilmu dinegeri seberang. Negeri Jambu Dwipa. Ayahku hanya sanggup mengirim uang 15 ribu perbulan, itu adalah 30 % penghasilanya. Aku merasa berdosa karena sepertiga rezeki keluarga besarku aku pakai sendiri. Meskipun semua ikhlas tapi perasaan bersalah terus menghantui aku dan kadang mengganggu konsnetrasiku belajar.

Uang sejumlah itu tak cukup untuk kegiatanku, jadi aku harus berjalan kaki agar dapat menyimpan ongkos bis yang 50 rupiah sekali jalan. Dengan ongkos dua kali jalan aku bisa membeli sepiring nasi dengan telur dan sayur. Porsi makanan itu kecil sekali untuk badukku yang terus bergelora. Tapi Amax telah mengajar aku hidup di jalan sufi. Kalau makan hendaknya diukur isi perut kita, sepertiga untuk makanan, spertiga untuk air dan sepertiga untuk udara. Alhamdulillah gelora perutku berkurang dan mereda setelah aku minum air. Meskipun sudah tahu, kalau ada kesempatan makan bareng, aku suka lupa, pernah aku dan teman Sasakku makan bisa 3 piring masing masing setinggi gunung rinjani, entah kemana nasi itu hilang. Kami sering diejek senior lain, kalau yang nguntal nasi sebanyak itu adalah setan yang bercokol di perut. Yah setannya kita sendirilah….

Keluarga besarku yang sebagian besar memakai nama nama nabi itu pendidkannya mentok SD dan SMP, saudaraku sendiri minimal SMA dilewati. Banyak dari mereka beterbangan ke mana mana. Ada juga yang menekuni ilmu limu gaib seperti orang kuno yang belum mengenal islam. Anehnya praktik keleniknya dicampur dengan tradisi yang berbau sufisme yang islami.

Bangsa Sasak yang aku sayangi ini bagaikan darah dagingku sendiri, mereka adalah napasku sebab semuanya terlibat dalam pendidikanku, mereka membesarkan aku dari ujung ke ujung Gumi Selaparang . Mereka mengunjungiku saat sakit dan menolong orang tuaku saat sulit. Mereka beramah tamah kepadaku setiap saat. Senyum mereka sehangat matahari. Gadis gadis bangsaku wangi bagai melati. Meskipun ada gejala makin nyentet kelakuan mereka terutama gadis kota tapi di pedalaman, masih ada yang berambut panjang yang setia menantiku dan akan memelihara alam asri kami sepanjang waktu.

Kami wangse Sasak adalah penganut kultur matriarkhis, tetapi kami juga mengadopsi hukum Islam sehingga secara waris ikut ayah tetapi kedekatan keluarga cendrung ke garis ibu. Klan kami sama kuatnya baik dari garis amax atau inax, baik secara syariah maupun dari segi tradisi matriarkhis itu.

Kalau kami akan menikah kami berpantang meminta calon istri, meskipun kami sekeluarga sebenarnya saling kenal satu dengan lain. Kami harus mencuri calon istri agar kami bertindak sebagi kesatria. Perempuan kami tak dapat didikte soal jodoh, mereka akan lari dengan lelaki pilihannya. Ada juga kasus yang tidak mencuri karena mereka bertetangga dekat, atau sudah modern. Mereka sangat keras wataknya
sehingga banyak yang berakhir pada perceraian sebelum saling mengenal lebih dalam.

Yang kacau sekali adalah mereka banyak kawin muda dan rapuh sekali, banyak janda masih sangat belia dan terpaksa jadi TKW atau babu untuk meneruskan hidupnya yang porak poranda. Sebagai orang berpendidikan akau berjuang mengentaskan keterpurukan anak bangsaku dengan segala daya upaya. Amax mengajarkan aku untuk tidak cinta dunia agar tidak takut mati. Aku bertekad untuk menghindari kehidupan hedonis agar aku dapat mengulurkan tangan kepada anak anak terlantar yang berjejer di gang gang sepanjang dasan dasan dimana aku melewatkan masa kecil dan remajaku.

Aku Zafnat Falea, tampangku seperti pelingkak melekuk, tapi tanganku kuat dan badanku kokoh, aku akan mengangkat gadis gadis bangsaku agar menjadi ratu yang pandai dan gemulai. Rasulullah berkata bahwa apabila keadaan wanita baik maka seluruh bangsa akan baik, dan apabila keadaan wanitanya buruk maka seluruh bangsa akan buruk!. Inilah pekerjaan rumahku yang terbesar, membangun SDM dan mengangkat harkat perempuan kami. Kami telah menumbuh kembangkan dengan sengaja maling dan pelacur di negeri kami, kami telah menyadari kesalahan itu. Semoga Allah memberi cahaya kepada Anak Bangsaku agar aku tak sebatang kara dan terus menangisi mereka tanpa henti.

Wallahualam bissawab

Demikian dan maaf
Yang ikhlas

Hazairin R. JUNEP

Glosarium:
Tengkulak : tempurung kelapa
Pesok : remuk, penyok
Baduk : lambung, perut
Nguntal : menelan habis
Nyentet : genit
Pelingkak : gagang daun kelapa
Melekuk : tertekuk, terlipat

1 komentar:

hanayeol mengatakan...

Hi, invite you baduk blog
http://hanayeol.blogspot.com