Jumat, 29 Mei 2009

I Ling

(Sasak.org) Minggu, 17 Februari 2008 01:00

Perjalan panjang memakan waktu 22 jam yang melelahkan tapi menyenangkan. Pesawatku transit untuk urusan teknis di Abu Dabi. Kota Arab yang sangat megah. Para pekerja di Bandar Udara yang kulihat dari jendela pesawat kebanyakan orang India dan beberapa berwajah Indonesia. Mereka adalah bangsaku yang mengais rezeki di negeri orang. Saat melihat orang-orang yang serupa denganku ada perasan khusus menyelimuti kalbuku.Setelah 10 tahun revolusi mahasiswa di tanah air, aku pulang untuk pertama kalinya. Aku sama sekali putus hubungan dengan negeriku selama 40 tahun lebih. Pesawat KLM yang membawaku dari Amsterdam mendarat dengan mulus di Soekarno-Hatta. Udara lembab yang aku kenali semasa kecilku aku rasakan lagi setelah lama sekali.

Aku tak dapat bicara dengan baik dalam bahasa Indonesia karena aku pergi saat masih 8 tahun. Tapi kami selalu berbahasa Sasak, bahasa ibuku. Urusan di imigrasi mula-mula rumit, gara-gara aku langsung antre di barisan orang Indonesia. Perasaan haru campur bangga membuatku lupa bahwa aku bukan lagi orang yang sama dengan mereka. Mereka ramah dan baik. Aku bertegur sapa dengan mereka, ada juga yang kudengar pakai bahasa Inggris campuran Indonseia yang aneh. Mungkin mereka adalah orang yang juga lama tilar negare (meninggalkan tanah air).

Saat tiba giliranku, petugas temberingux (menyeringai) dan kemos (senyum) lalu berkata: “over there. Sir!” (di sana tuan). Aku kaget dan mengambil pasporku sambil memnita maaf. “ Maaf saya keliru, terima kasih”. Kini gilran petugas yang kaget. Kalimat dasar seperti itu tentu aku hafal.

Aku antre lagi dibelakang para bule dan orang asing lain. Sampai di meja, petugas melihatku. Silakn! Katanya. Aku angsurkan pasporku dan dicap. Terima kasih, kataku dan langsung ke tempat pengambilan barang. Aku membawa barang ke bea cukai, mereka membuka semua bawaanku, Sedikit oleh –oleh untuk kawan-kawanku yang aku harap masih ada.

Penerbangan berikutnya adalah Jakarta, Surabaya Rambang. Di Surabaya aku harus ganti pesawat kecil. Selama perjalan Jakarta –Surabaya, nyaman dengan boeing, tapi yang ke Rambang Fokker dengan baling-baling. Aku ingat waktu kecil naik cikar di jalan yang berbatu, aku agak mual.

Pramugari mengatakan pesawat akan mendarat dalam sepuluh menit, aku melihat ke bawah, Tanjung Luar yang gemerlap dan kemudian didepanku Labuhan Haji penuh dengan kapal dan bangunan-bangunan tinggi dengan arsitektur campuran gaya Sasak dan Cina. Tengah malam sudah saat aku injakkan kaki di gumi paerku yang ku cinta.

Hotel tempatku menginap sangat nyaman meskipun kecil. Pelayan menawarkan makan malam tapi aku tolak karena lelah, lagipun aku tak perlu makan sahur. Aku mandi dan keluar sebentar bertemu dengan receptionist. Seorang perempuan muda keturunan Cina, Kami bercakap dengan bahasa Sasak. Setelah itu aku Shalat Isya aku gabung dengan magrib. Dan tidurku pulas sekali.

Pagi itu udara cerah, dari pokok-pokok kelapa yang tumbuh subur menyembul sinar mentari yang hangat sekali. Burung beterbangan, anak-anak nelayan berlarian ke pantai. Jam sembilan pagi sudah ku dengar suara burung koax kaox (kua kiau) burung asli gumi Selaparang. Burung ini sangat pintar menyanyi dan menari.

Jam sepuluh pagi aku keluar dan disambut para sopir taksi. Aku memilih bicara dengan seorang yang ku lihat berwajah teduh dan sangat sopan. Kulihat di dadanya ada namanya Amek. Itu adalah nama asli Sasak. Aku minta Amek mengajakku keliling kota yag aku tinggalkan 4 dekade lebih. Aku dibawa melihat Pao Fang Fang, sebuah daerah pecinan yang maju sekali, jalan yang besar dan mulus dari Bandara hanya memakan 5 menit dan aku turun. Amek memarkir taksinya dipinggir jalanm, di dekat Sekolah Cina yang bercat merah kunig dengan hiasan lampion dan naga dimana-mana.

Sopir taksi ini rupanya orang yang sangat berpengalaman, ia pernah menjadi pelaut sebelumnya. Sekarang jadi sopir taksi dan yang tak ku sangka Amek ada pemandu wisata handal. Ia bercerita mengenai sejarah Bandar besar Labuhan Haji. Sebagai Bandar pemberangkatan haji dan pusat transito barang dagangan untuk seluruh provinsi bahkan sampai Flores dan Timor.

Ada gedung olah raga dan hiburan yang besar bertingkat 7. Tempat semua warga berolah raga segala rupa dari fitness samapi futsal. Kolam reangpun tersedia sangat reprsentatif. Penduduk Labuhan Haji sangat ramah dan aku sempat berbicang dengan penjual pencok di pojok sekolahan. Ku lihat musrid SD sampai SMA yang bersih dan rapi, mereka campuran warga Sasak dan keturuna Cina. Ada yang bicara bahasa Sasak ada yang bahasa Indonesia dan Cina. Amek bilang kalau disana rata-rata anak bicara tiga bahasa tadi.

Kini Amek mebawaku ke tepi laut, gudang-gudang besar layaknya Bandar di Hongkong atau Makau. Para pekerja berotot menagkut barang dipundaknya. Ada juga yang mendorong dengan kereta kecil dengan barang setinggi gunung. Semua orang sibuk bagaikan lebah pekerja. Kemakmuran tampak dari wajah-wajah yang ceria sekali. Di tepi pantai masih ada nelayan yang baru datang, anak-anak yang sedang bermain ikut mendorong perahu. Tapi aneh nelayan tidak memberi ikan pada mereka, para awak perahu hanya berterima kasih dan melambai. Oh rupanya kemakmuran menhilangkan kebiasaan mencirox tapi tak menghilangkan keceriaan dan keramahan satu sama lain.

Taksi parkir agak jauh dan Amek ku lihat sednag minum cao di warung bawah pohon ketapang besar di sebelah gudang yang letaknya terlalu dekat ke pantai. Toke-toke sibuk mengecek barangnya. Buruh dengan riang menerima upahnya. Anak –anak TK pelesir mulai berdatangan, ada yang naik kereta api yang panjang, bukan kereta api sungguhan dan ada yang naik dokar dan bendi, belakangan aku tahu nama bendi itu, Cidomo. Menurut guideku yang hebat itu, cidomo berasal dari Cikar (rangkanya) Dokar (fungsinya) dan Montor atau Mobil (bannya). Aku bilang sama Amek Sado dari kata bahasa Prancis “dos a dos” dibaca dosado artinya punggung dengan punggung basa Sasaknya saling temudin karena merujuk pada cara duduk penumpang yang saling membelakangi.

Di Pelabuhan itu aku melihat setidaknya ada sepuluh deret jembatan pendaratan yang menjorok sampai 100 meter ke laut. Dahulu aku suka berenag sampai pal pembatas yang namany Tomba-tomba. Kapal-kapal besar bersandar jauh di sebelah timur di dekat Loang Sawax dan Ferry yang cukup besar, dua tiga kali lebih besar dari kapal Kuda Putih yang dulu melayari Lembar- Bali. Jauh ke barat terlihat kapal pesiar pribadi dan sampan sewaan dengan layar berwarna warni..

Sekarang jam makan siang. Amek mengusulkan agar aku mencoba makanan nenek moyang kami, beberok urap-urap, pencok lendong, pencok kima semuanya pakai tekot ( wadah dari daun pisang kalau di jawa disebut pincux) dan cao. Aku sudah tak mengenal makanan asli Gumi Selaparang itu tapi demi mengenang orang tuaku aku akan makan makanan yang mereka nikmati. Astaga naga, ini bukan lagi makanan Amek, teriakku. Ini namanya slada nuklir! Bagaimana tidak, ada kangkung, kecipir, brubusan disiram sambal tomat yang mengerikan pedasnya. Aku kalah, aku batuk-batuk dan minum cao sekali hirup tandas segelas tapi mulutku jeweh, mataku pecok dan tanganku beneng seperti kena api. Amek mengajariku, ucapkan MEKKKKAAAAH MEDINAAAH, sambil menghembuskan napas. Aneh-aneh saja Amek ini, cabe ya tetap pedas apa urusannya dengan dua kota suci itu. Atau itu sindiran bagi orang berdosa, cepat ingat bertobat! Kalau berbuat sesuatu terlalu eksesif.

Aku minta diantar berenang lalu Amek mebawaku ke kolam renang ditepi pantai ada air tawarnya juga. Aku berenang dan shalat dhuhur disana. Aku minta Amek menjadi imamku, dia salat panjaaaang sekali. Rasanya seperti bertapa menunggunya mengganti gerakan. Tapi aku merasa tentram sekali apalagi dengan Zikirnya yang panjang dan doa yang lengkap aku mengamini semua, meski aku tak tahu dia minta apa. Biasanya aku dan kawan-kawan di Eropah shalat berjamaah doanya sendiri-sendiri.

Setelah itu aku ke hotel dan berjanji akan pergi dengan Amek petang harinya. Aku memberinya uang 500 ribu agar dapat membeli kebutuhannya. Dia tampak terkejut dan menolak pemberianku. Aku katakana:” Amek, aku tidak membayarmu aku sedang memberi kepada saudaraku, kalau kau tolak bagaimana kau bisa menjadi saudarku yang baik?” Ia kelihatan terharu sekali. Tiap-tiap rezeki yang engkau terima terdapat hak orang lain! Mula-mula berilah kepada orang terdekatmu kemudian tetanggamu dst.dst.

Malamnya aku diajak keliling ke kota Selong, kota ini tidak semegah Pelabuhannya karena hanya berupa kota administrasi. Aku mampir ke gedung nasional yang megah dan kemudian gedung Gabimas di depanya berdiri indah sekali masjid dengan arsitektur Sasak Islam yang dapat menampung 5000 jamaah sekaligus. Dahulu tempat itu lapangan kecil untuk sepak bola.

Aku tidak melihat kampung kumuh yang dahulu disebut dasan. Semua blok tertata rapi dengan jalan-jalan yang simetris. Gang-gang kecil dibeton rapi, selokan air hujan bersih dan asri, dipinggirnya tumbuh bunga-bunga indah.

Tiba di pancor aku terpesona dengan bangunan paling indah disudut jalan, Masjid Pancor yang mirip dengan masjid-masjid di tanah Arab. Ku dengar Muazzin memanggil untuk shalat maghrib dan aku ajak Amek berjamaah. Imamnya sudah tua , aku belum pernah shalat dengan berlinang air mata seperti itu. Bacaan ayat pendek mula-mula surat Al Mau’un dan pada rakaat kedua surat Al Kafirun. Amek tidak menangis karena mungkin tatarannya sudah jauh lebih tinggi dari aku. Setelah shalat kami berzikir seperti Amek lakukan tadi siang. Stelah itu Imam berdiri dan membaca shalawat, aku sudah tak tahan akhirnya aku terisak, sambil menyeka airmataku aku bersalaman dengan jamaah. Di ujung yang penghabisan aku terkejut melihat temanku semasa kecil dia orang keturunan cina yang rupanya telah menjadi muslim. Aku ingat nama keluarganya Oey tapi entah siapa nama panggilannya.

Kami berbincang betimux bebaret setelah magrib itu dan kuajak Oey yang sekarang menjadi Arifin makan di restoran sebelah timur masjid. Restoran itu menyediakan masakan Cina, Jawa dan Sasak. Kami makan masakan Cina untuk bernostalgia. Setelah itu aku kembali ke arah Labuhan haji selepas shalat isya di masjid yang sama. Di depan universitas besar aku melihat panti asuhan anak yatim. Aku minta Amek masuk dan ku lihat anak-anak balita bermain kejar-kejaran. Ada yang berebut mainan, ada yang masih menggambar dan bernyanyi. Mereka sehat dan bahagia. Aku menemui pengasuhnya, seorang ibu setengah baya yang kelihatan sangat tenang dan berwibawa. Aku menyerahkan uang tanpa kuhitung dan aku pergi. Aku menolak tawaran minum dari bu itu. Celakalah orang yang shalat! Shalat tapi tidak mempunyai kepedulian sosial…Celaklah Orang yang Shalat!…

Aku terkejut dan terhempas! Aku istigfar, pesawatku berguncang, kiranya menabrak awan hujan. Subhanallah aku baru saja memimpikan kota kelahiranku. Aku sangat berharap menmukan suatu keindahan di sana. Karena sepeningalku aku dengar ada pemberontakan komunis dan kerusuhan yang membunuh saudaraku keturunan Cina.

Namaku I Ling, lahir di Pao Fang Fang, aku anak yatim diasuh oleh orang tua angkatku dari keturunan. Meskipun agama kami berbeda mereka terus mengarahkan aku menjadi muslim yang baik. Bahkan setelah mereka tahu bahwa harta benda dirampok dan keluarga mereka dibunuh satu demi satu oleh tetangganya sendiri. Aku dibawa pergi ke Eropah dua tahun sebelum kejadiaan itu. Kini bebekal peta dari orang tuaku aku akan pergi mencari keluargaku atau setidaknya makam ayah ibuku. Pramugari mengumumkan bahwa pesawat akan mendarat dalam 5 menit. Waktu di Selaparang satu jam lebih cepat dan suhu udara 32 derajat C. jantungku berdegup, persaanku hampa… Sesungguhnya telah nyata kerusakan di muka bumi ini karena ulah tangan manusia!…

Ya Allah ampunilah aku, ampunilah dosa kedua orang tuaku, ampunilah tetua-tetua kami dan saudara –saudara kami, ampunilah para perusuh yang telah memporak porandakan gumi Selaparang sehinga terpuruk sampai kini. Ya Allah keluarkan aku dari kepiluan ini., betapa aku telah menjadi orang asing ditanahku sendiri.. Amiin

Jogjakrta, 17 Feb 2008 jam 3.45 WIB

Wallahualambissawab,

Demikian dan maaf,
Yang ikhlas,

Hazairin R. JUNEP

berlanjut ke mA LING

1 komentar:

gala-aksi mengatakan...

salam silaturahmi maya miq Junep. kami sbg generasi d segmen berikut jg akan slalu inget (eling) dgn benang merah sejarah di bumi tempat berpijak.