(Sasak.org) Kamis, 13 November 2008 20:47
Tiba tiba semua orang berteriak di dasan kami, entah sejak kapan mereka belajar teriak keras, padahal kalau azan saja ragu ragu mengeluarkan suara. Teriakan meminta turunkan harga sampai turunkan pejabat sudah jadi kebiasaan yang mewarnai kehiudupan dasan kami sejak meluncurnya Reformasi!
Reformasi, dicetuskan oleh pemikir yang brillian dan pemberani, tatkala orang sangat takut pada Pak Harto ada yang maju dan merintis jalan perubahan itulah Reformasi. Membentuk diri kembali, membangun diri kembali agar berada di jalan yang tepat. Yang direformasi mula mula adalah masalah politik yang sangat berbau KKN. Siapa saja anggota keluarga penguasa dan pejabat dari tingkat desa sampai pusat dengan mudah masuk mengisi posisi apa saja di birokrasi ataupun parlemen.
Sistim distribusi secara kelembagaan ada dan bagus tapi para pelaksana tugas adalah orang yang korup disebabkan KKN itu. Satu keluarga bisa beberapa orang bekerja di satu instansi dan bahkan kerabat itu bisa menguasai seluruh departemen. Keterbukaan mendorong informasi cepat sampai ke masyarakat, baik yang terpelajar maupun yang tidak tahu apa apa. Celakanya kebanyakan masyarakat tidak tahu apa apa tapi untuk menajaga gengsi semua orang suka mengatakan bahwa sekarang masyarakat sudah pintar! Kalau pintar mengapa mereka rusuh dan sering busung lapar? Tak ada yang berani menjawab bahwa sesungguhnya banyak anggota masyarakat yang masih goblok!
Reformasi sama misteriusnya dengan tuselax, semua orang di dasan kami tahu persis ada tuselax ngeres dan ada selax di kampung sebelah. Belum ada yang bilang ada selax di kampung sendiri. Begitulah reformasi, semua tahu sekaligus tidak tahu seperti tuselax itu. Tiba tiba teriakan keras keluar dari mulut si Kebot dan si Joang yang minta pendidikan gratis. Mereka tidak pernah belajar sampai tuntas, mereka hidup dengan mengerjakan apa saja karena mereka punya keterampilan hidup. Keterampilan hidup itu bukan didapat dari sekolahan tapi dari orang tua dan handai tolan. Begitupun soal agama dan kesalehan sosial tidak ada yang jual disekolahan itu. Sekarang mereka teriak pendidikan gratis, padahal mereka dapat gratis semua dari orang tua dan handai tolan, mereka lupa atau pikun mungkin. Mentang mentang bebas teriak orang lain disuruh nanggung beban yang seharusnya jadi tanggung jawab mereka sebagai orang tua bagi anak anak mereka. Mereka lupa bahwa doa yang diucapkan tiap hari untuk ayah dan ibu berisi permintaan agar Allah mengampuni dan mengasihi orantua sebagaimana mereka mangasihi daku diwaktu kecil. Doa itu adalah flashback bahwa orangtualah yang meberikan kita pendidikan gratis dengan cinta mereka seterang dan sehangat matahari sepanjang tahun.
Diluar konteks keluarga, kerabat dan sahabat serta handai tolan, di masyarakat luas GRATIS itu tidak ada tapi kalau murah dan terjangkau oleh kebanyakan orang, itu yang harus diperjuangkan. di negara maju tidak ada uang pungutan SPP dan sumbangan aneh aneh. bahkan siswa ada yang dapat makan pagi atau siang atau dua duanya.Buku yang sama dipakai oleh angkatan berikutnya jadi bagi yang tak punya uang dapat memakai buku dari kakak kelasnya yang biasanya menyumbangkan buku buku bekasnya ke sekolah untuk dipakai oleh yang membutuhkan. Pakaian bebas atau seragam bagi yang miskin tentu banyak cara untuk memperolehnya. Di Lombokpun sekarang kita bisa lihat dimana mana orang jual pakaian bekas dengan tarif 5 ribu, mengapa gengsi, beli saja disitu.
Waktu saya kuliah SPP 33 ribu/smester saya dapat beasiswa PPA 40 ribu/bulan jadi dengan beasiswa 2 bulan saya bisa bayar 1 tahun kuliah artinya beasiswa saya 12 bulan itu bisa untuk biaya kuliah sampai lulus. Kami tak perlu pikirkan SPP lagi. Sekarang anak saya smester V dan beasiswanya hanya 2 juta/tahun, sedangkan SPPnya pertahun 6 juta, waktu tahun pertama habis 25 juta. Pendidikan mahal seperti itu tidak boleh terjadi di Lombok.
Yang menjadi masalah kita bersama adalah bahwa kita menganggap pendidikan itu hanya pergi ke sekolah! dan harus lewat sekolahan! alangkah sempitnya kita jadi manusia. hidup adalah pendidikan bukan? Dan orang Islam punya pepatah, ibu adalah madrasah bagi anak anaknya.
Apa yang ada di tempat terpencil seperti di Praya Tengah dan berbagai tempat di Lombok Timur adalah contoh pendidikan murah yang dibangun dan dikelola sendiri. Pemilik yayasan menawarkan jalan tengah dengan memberi ketrampilan hidup dan agama di rumahnya!
Bagaimana dengan orang miskin; petani, nelayan dan buruh, mereka tak perlu bersusah payah mengurus sekolahan, cukup mereka kerja keras untuk memenuhi kebutuhan gizi diri sendiri dan keluarga mereka. Selebihnya pemerintah yang bekerja, memfasilitasi mereka belajar ditempat masing masing, irit transport dan biaya operasional lain. anak pintar bisa tumbuh dimana mana.
Kita kebanyakan terperangkap pada pemikiran bahwa orang harus sekolah agar dapat ijazah untuk mencari pekerjaan. Di Lombok meskipun dibuka departemen dan dinas baru di tiap desa, tidak akan sanggup menampung para penggemar seragam PNS itu. Bahkan pabrik dibangun ditiap desa tak akan sanggup menampung tenaga kerja Sasak yang melimpah ruah.
Marilah kita kembali ke makomnya pendidikan yaitu menjadikan manusia itu menjadi manusia titik!. Bukankah tiap orang tua dapat menjadikan anaknya manusia yang baik?. Jangan terus mendorong masyarakat untuk serba gratis, mental gratisan dalam jangka panjang membunuh kretifitas dan mendorong orang jadi pemalas.
Allah tidak memberi kita rezeki nomplok sekali setahun, tapi tiap hari, saat tidur dan terjaga sebab jika sampai langganan rezeki nomplok tiap tahun jangan jangan kita lupa kepadaNYA seperti para penerima BLT yang rindu kepada kantor pos tiap 90 hari…. Pendidikan dirumah atau dimanapun hendaknya menumbuhkan kita menjadi manusia yang pintar, cerdas dan pandai tanpa embel embel duniawi yang menjerumuskan anak bangsa.
Wallahualam bissawab
Demikian dan maaf
Yang ikhlas
Hazairin R. JUNEP
Jumat, 22 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar