Jumat, 22 Mei 2009

Sasak Sang Paria

(Sasak.org) Selasa, 18 November 2008 20:23
Siapa yang menyukai sayuran bernama paria, peria atau pare yang pahit itu?. Waktu kecil saya sangat benci memakannya. Bagaimana pungkin ada orang mau makan barang pahit getir demikian. Dasar manusia pemakan segalanya. Kopi pahit, jahe pedas dan cabe lebih pedas lagi, rumput laut asin dan buah asam pun dimakan juga. Saya tertarik pada peria atau pare ini karena dahulunya sayur ini adalah sayur yang tak masuk daftar makanan manusia normal. Sayurpun disingkirkan juga, tadinya saya pikir hanya manusia punya kisah termarginalkan itu.

Pernahkah semeton gumana (dengan sengaja) berkeliling di gawah gawah seperti Sekaroh, gawah Toya dan sepanjang jalan lingkar gumi Sasak sekedar menengok barang sekejap orang orang yang hidup terpencil disembarang tempat dan waktu itu? Amax banyak bercerita tentang peri kehidupan masyarakat yang jauh dari apa yang kita sebut peradaban kota. Amax sekolah hanya sampai kelas 3 dan ia harus jalan kaki dari Selong Ke Praya. Diperlukan sehari untuk sampai ke tujuan. Dengan berbekal jagung gerontong ( sangrai) yang keras, menembus sengatan matahari dan hujan di rau dan hutan sepanjang jalan. Di zaman amax sekolah pendidikan tak begitu dihiraukan oleh bangsa Sasak, kata amax hanya segelintir saja anax dasan yang mau bersusah payah jalan kaki sampai Praya yang saat itu merupakan bagian dari Lotim. Zaman Belanda atau zaman Jepang, sekolah sangat disiplin. Sehingga amax dan kawan kawan menjadi manusia yang tangguh di zaman berikutnya.

Cerita amax bagaimana merintis sekolahan di Lekong Pitux dan berkelana diseantero gumi Sasak, menginspirasiku melihat lihat manusia yang hidup terselip dan terlupakan di tempat tempat yang jauh dari mana mana itu. Pengalaman bertani dari amax menjadi bekalku untuk bertukar cerita dengan orang orang gawah. Mereka belum tentu tercatat dalam statistik lembaga penghitung penduduk di kabupaten. Anehnya mereka tetap didatangi sedahan atau mereka yang pergi ke desa menemui sedahan untuk membayar pajak. Pajak apaan, pikir ku, tanah tak memberi mereka kecukupan karena teknik bertani primitif masih kental. Kalau ada buah srikaya sekali setahun, itulah hasil tambahan kecil, sebab yang paling untung pedagang di Masbagik dan Cakranegara. Nah pajak yang mereka setor adalah untuk membayar penderitaan yang diberikan oleh pemerintah. Derita itu adalah pengabaian atas hak kesehatan, pendidikan dan ketahanan pangan. Pemerintah yang dikangkangi manusia tak berakhlak hanya memakmurkan diri dan terus minta tambah gaji dan fasilitas tanpa berfikir bahwa kemakmurannya berasal dari tetes darah orang orang terpencil itu.

Satu satunya kesempatan mereka dapat kesenangan adalah kalau ada pameran atau pawai yang diadakan kalau mau menghabiskan dana yang tersisa. Orang terpencil datang beramai ramai menonton bareng dan gembira bersama anak cucu mereka sekedar melihat dengan heran gaya orang orang kota dan pejabat yang berlagak borjuis dan sok sibuk. Uang yang dikumpulkan setahun dari buah srikaya tain bembex yang sudah mulai berjamur dikeluarkan untuk menukar es krim tak bermutu yang dijajakan dipojok ibu ibu PKK. Mereka butuh 2 kg buah srikaya untuk satu es krim goblok itu. Tapi orang polos ini, tak panjang tawar menawar karena tak biasa bicara, hanya kerja dan kerja. Yang penting anak cucunya senang mengecup kecup es krim seolah tak hendak menelannya kalau tak mencair dengan cepat. Mereka terus berjalan mengikuti kehendak waktu dari saat bayar pajak ke saat bayar pajak berikutnya. Kalender satu satunya yang paling harus diingat adalah saat bayar pajak. Itulah kewajiab duniawiyahnya. Mereka pun juga adalah manusia paling sholeh baik dalam arti taat beribadah maupun secara sosial. Ketika saya menginap di sebuah dasan yang terhimpit dibukit sebelah barat Lembar karena air pasang tiba tiba menutup jalan kami pulang. Kami dirawat bagai pangeran dari langit, kami diberi makan ubi godog dan dibuatkan api unggun semalaman untuk mengusir dingin dan nyamuk. Mereka sangat tulus, tidak sekali dua pengalaman dirawat orang yang kita anggap gawah itu aku alami. Mereka hanya tahu memberi dan memberi.

Sekarang orang orang pintar diseantero gumi Sasak mencari cari cara agar kelompok masyarakat terpencil itu dapat beramai ramai datang dan mengetahui bahwa mereka sedang ada begawe (pesta). Sebentar lagi ada pemilihan Kepala Daerah, Bupati dan Presiden serta Parlemen maupun DPD. Tiba tiba mereka dikagetkan dengan kalender yang diluar saat bayar pajak atas penderitaan yang ditimbulkan para penipu ini. Tapi kesholehan mereka menutup rapat prasangka apapun sehingga mereka tetap berbondong seolah itu adalah bagian dari kalender yang wajib diikuti.

Orang pinggiran itulah mayoritas penghuni gumi Sasak ini. Orang orang ini dapat dibeli dan dibuai dengan tontonan murahan seperti pawai dan pameran. Mereka ini tak banyak mengerti, ketika para orator paling ulung dan paling bodoh dengan gaya bahasa dan gerak yang sama membualkan mimpi. Orang pinggiran ini tak pernah belajar sekedar menghafal bualan orator yang setiap sekian tahun mengulang bualan yang sama. Mereka dapat dengan mudah kembali ke tempat yang sama dimana mereka pernah melihat pembantaian sesamanya pada kesemptan lain dan saat berikutnya jadi medan hiburan. Kaum paria, ya inilah anak bangsa Sasak, mereka adalah kaum paria yang tidak boleh disentuh, cukup diberi janji janji kosong. Setelah itu ditinggal kembali ke tempatnya bergelimpangan. Bergelimpangan karena memang tak punya sekedar kursi untuk duduk. Maka cara duduknya kaum paria itulah ikon yang sampai ke manca negara. Mengapa para orator yang bermain dipanggung tak pernah berusaha mengangkat harkat martabat mereka yang bergelimpangan di tanah itu? Pertanyaan bodoh, orang orang itu adalah paria, untouchable! Bagaimana mau menolong, menyentuh saja najis!

Hanya rahmah Allah saja yang melindungi mereka dari bengisnya para penjarah, mereka bagaimanapun adalah orang yang paling bahagia dalam kebersahajaannya. Tapi bagi kita yang mengerti apa arti keadilan, sudah waktunya berhenti berdiam diri ataukah kita akan terkubur menjadi jahannam di neraka hanya karena kita diam!

Wallahualam bissawab

Demikian dan maaf
Yang ikhlas

Hazairin R. JUNEP

Tidak ada komentar: