(Sasak.org)Sabtu, 08 November 2008 01:00
Malam itu mal mal selikur dan tarawih baru saja bubar, aku duduk di depan rumahku di bawah pohon jambu air kecil yang lebat buahnya. Seorang jamaah masjid berhenti dan mengucapkan salam. Kubawa masuk ke rumah dan kami minum teh wangi cap mawar. Dia adalah sahabat lamaku yang sudah tak mengenal diriku lagi karena terpisah bertahun tahun. Namanya M.N dan lahir di sebuah desa di Gerung.
Dia bicara dengan bahasa Sasak hormat, dan bertanya dimana gerangan sahabatnya yang dulu kos bersamanya di Old Gomong . Saya ingin bertemu dengannya, sudah lama tidak bersua, sambungnya. Aku menatapnya terus, tapi dia masih bertanya, aku merasa dia tak mengenali aku sama sekali. Aku bertanya padanya; anak amaxku yang mana yang ingin side temui ?. Orangnya pendiam, ramah dan pandai jelasnya. Aku jadi kepala besaar sekali. Antara rasa malu dan geli aku katakan akulah orang yang kau maksud. Dia terkejut sampai mencret….
M.N adalah sahabatku yang kudoakan agar dia senantiasa bahagia dan tetap dalam lindungan Ilahi. Penampilannya sederhana, persis seperti prof. Natsir, ulama kharismatik kita itu. Sahabatku ini kemana saja hanya pakai sarung. Dia mondok di Ma’had Pancor. Waktu kos barsama, kami suka masak kelor dan kadang makanan mewah berupa lebui dan lindung totok. Rekan rekan kami yang di IKIP dan UNRAM bergantian membawa makanan khas desa masing masing. Ada satu orang yang kami ejek sebagai waktu telu. Dia jengkel minta ampun, hanya karena dia datang dari desa yang masyarakatnya dahulunya jadi basis X3 itu. Dan nama nama kami yang junior memakai alias. Semua mengambil nama bintang beken saat itu. Kerjaan kami mengintip dari jauh gadis gadis cantik di apotik Cakra yang kebanyakan etnis China itu. Dulu Cakra sepertinya lebih asri dari keadaan sekarang. Gubernur bangse Sasak tidak becus memeperindah kotanya.
Sahabatku yang satu ini sungguh manusia istimewa dan berhati mulia. Aku tak menduga dia seorang yang hampir buta huruf. Selama kos, dia kelihatan seperti orang terpelajar lagi bijaksana. Aku tentu tak mungkin mengungkit soal soal pribadi sehingga selama kos bareng dia aku tak pernah tanya kuliah dimana atau ambil jurusan apa. Ini akibat aku belajar Bahasa Asing sejak umur 9 tahun, dibuku panduan kita tak dibenarkan menanyakan umur, agama, dan detail lain sampai orang tersebut omong sendiri. Aku tahunya, dia itu ya kuliahlah.
Makin larut malam ramadan itu, suara amax mengaji sayup sayup, membaca surat Ar Rahmaan. Aku bertanya mengenai kuliahnya di Ma’had. Dia bercerita bahwa dahulu dia di kos untuk menolong adiknya yang kuliah di IKIP sampai lulus. Aku tak tahu cerita selanjutnya karena aku meneruskan kuliah di Jogjakarta. Ceritanya, dia membimbing adiknya sejak SD. Sahabatku ini mengorbankan diri untuk menyekolahkan adiknya. Karena persoalan biaya dia terima tidak masuk SD demi agar adiknya jadi pintar. MN bekerja di sawah dengan rajin, adiknya yang bernama MZ jadi murid pintar dan berprestasi. MN semkin bangga dengan adiknya. Bagi MN adiknya adalah titipan ayahnya yang telah meninggal bertahun yang lalu. Mereka tinggal bertiga dengan ibu. MN merasa perlu belajar menulis agar dia dapat ikut menikmati bacaan adiknya. Tangannya yang sering berlumpur lumpur dan kasar memegang pensil seperti memegang arit. Dia mulai menulis rabak rabak dan tak karuan bentuknya. MZ mengajari kakaknya sampai berhasil menghafal abjad. Itu terjadi sesudah adiknya SMA! Rasa sayang MN kepada adiknya membuat adiknya manja sekali, kalau ujian, dia tingal bilang pada kakaknya, semua tinggal beres, MN akan memasak, mencuci dan mengurus keperluan sang adik. Rupanya itulah yang membuatnya tinggal dikos itu.
Ketika adiknya sudah kuliah di semester akhir, MN sudah pandai menulis dan membaca, dia ikut pengajian dan nyantri diberbagai tempat sebagi pendengar. Usahnya yang gigih membuatnya lulus dari mengaji dan berhak meneruskan ke ma’had kapan dia mau.
MZ telah dinyatakan lulus BA dan dapat pekerjaan sambil meneruskan kuliah tingkat sarjananya. MZ kawin dan tidak tanggung tanggung dia beristri dua! Karirnya bagus dan dia kelelahan, entah karena kerja berat atau capek ngurus dua istrinya. Anaknya entah berapa sudah. Tak lama kemudian MZ meninggal dunia….
MN sudah lama tidak mengurus MZ karena sudah selesai tugas berat dari ayahnya menjaga sampai lulus sekolah. MN yang merana akhirnya memutuskan mengambil ma’had di Pancor, dia tetap memakai sarung dan tangannya kasar karena lumpur sawah tapi jemarinya lincah menulis dan mebuka kitab kitab kuning, akhirnya dia lulus dengan gemilang. Ketika bertemu dengan saya dia ingin bertanya mengenai tugasnya menjadi da’i yang akan mengisi pos di Kalimantan. Wajahnya pucat, karena dia bukan tak ingin menjalankan jihadnya tapi dia masih mengurus ibunya yang sudah renta. Aku tak perlu bertanya mengapa dia tak juga menikah…karena itu salah satu pertanyaan pribadi yang tak dibenarkan untuk ditanyakan menurut buku panduanku.
Bagi orang kebanyakan, MN adalah ramban biax , bukan siapa siapa, tapi kalau mereka sampai tahu niscaya akan dicium dan dipeluknya dia. Sekarang aku memikirkan nasibnya, apakah dia masih di desanya atau dimana rimbanya. Aku ingin memeluk sahabatku yang berhati mulia itu dan akan ku oros oros dimuka para pejabat dan pemimpin agar menjadikannya contoh manusia Sasak sejati yang tak pernah mampir di
sekolahan tapi berhasil menyelesaikan kuliah ma’hadnya. Dia seorang sarjana tulen dalam ilmu kehidupan. Aku berkali kali bertanya pada ustad mengenai lailatul kodar itu dan penjelasannya biasanya panjang dan tidak meyakinkan. Malam itu baru mal mal selikur aku merasakan kehadiran lailatul kodar saat amax melantunkan Surah Ar Rahmaan itu.
Wallahualambissawab
Demikian dan maaf
Yang ikhlas
Hazairin R. JUNEP
Glosarium:
Mal mal selikur ; malam ke 21 ramadan
Ramban biax ; jenis tanaman beracun, dihindari
Lebui ; kacang hitam, gude
Lindung ; belut
Ma’had ; pondok pesantren tinggi
Rabak ; kasar
Oros oros ; menyeret
Sabtu, 23 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar