(Sasak.org) Rabu, 22 Oktober 2008 01:00
Ungkapan bahasa Jawa, Gemah ripah loh jinawi, terjemahan bebasnya adalah : Kemakmuran,kesenangan, kesuburan yang dinikmati oleh seluruh penduduk tanpa kecuali.
Kita bangsa Sasak ini sering mengambil informasi sepotong sepotong, tanpa kita ketahui benar arti suatu kata yang suka sekali kita sitir dalam berbagai kesempatan. Ungkapan itu diucapkan oleh dalang wayang kulit untuk menggambarkan keadaan di Kerajaan Amarta dibawah pemerintahan Raja Yudistira.
Tiap kali saya mengadakan dialog dengan murid murid saya dari berbagai dunia yang datang ke candi candi besar di sekitar Jogjakarta, saya mulai dengan menunjuk kearah puncak Candi Prambanan yang terbesar dengan tinggi 45 m tepat ditengah kompleks itu.
Bagian yang penuh dengan Linggam dan Yoni itu disebut NIRWANA. Semua murid saya mengetahui apa itu Nirwana, dari apa yang telah dibaca dan didengarnya. Ada seribu satu ungkapan digunakan untuk menggambarkan kata Nirwana itu. Lalu saya tanya apakah kalian tahu Nirwana itu dalam bahasa apa? Tidak ada satupun yang tahu, padahal sudah beratus ratus murid yang saya tanya.
Saya katakan bahwa itu adalah bahasa Sanskerta, sedang bahasa Pali, bahasa Ibu Sidharta Gautama, disebut Nibbhana. Kalau kita tidak tahu arti dan apalagi bahasa apa itu, maka kita tak akan pernah mengetahui persisnya apa yang ingin dikatakan oleh suatu sebutan apalagi ungkapan.
Nir artinya Tidak seperti pada kata Nirlaba yang sering dikatakan oleh pegiat LSM. Wana artinya Buana atau dunia. Bukan dunia atau bukan materi, yaitu hal hal yang bukan duniawiyah sifatnya.
Untuk mengetahui sekedar makna sebuah ungkapan yang filosofis tidaklah cukup dengan mengkonsultasikannya pada kamus besar, kita perlu mempelajari pula keadaan masya-rakat yang mengeluarkan ungkapan itu. Ia bagaikan fosil yang ditemukan dibebatuan. Harus diselidiki silsilahnya melalui penelitian yang komprehensif.
Gemah ripah loh jinawi mengandung makna, rakyat yang hidup makmur dan bahagia melimpah semua kebutuhan hidup. Orang Sasak kalau bertemu mengucap RAHAYU semeton! Orang Muslim Menyampaikan salam alaika! Tidak satupun dari mereka mempunyai petim- bangan yang berkaitan dengan hal duniawi.
Orang yang menyampaikan doa dengan berahayu dan bersalam, mengerti bahwa sang lawan bicara sejahtera hidupnya. Tidak ada satupun yang menganggap apalagi mengharap sebaliknya. Itulah yang disebut dengan doa, meyakini apa yang harus terjadi karena kita mengingingkannya dan berserah diri kepada Yang Membuat Kehidupan Ini.
Dimanakah permulaan dari sebuah kesejahteraan itu, apakah dengan melimpahnya materi seseorang dapat dikatakan rahayu alias selamat dan sejahtera?. Kalau begitu apa bedanya dengan hewan piaraan, ditumpukkan saja makanannya dikandang tinggal dikunyah dan tidur tiduran bukan?.
Kita Bangsa Sasak sungguh sering salah kaprah, tidak menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Kita anggap orang yang melimpah hartanya adalah orang yang rahayu atau selamat sejahtera. Padahal yang namanya manusia tidak pernah berhenti menangguk keuntungan demi keuntungan untuk terus meperkaya diri. Orang yang terus mengejar dunia adalah orang yang tidak selamat apalagi sejahtera.
Seorang sopir yang mengantar saya tour, menceritakan atasannya si Fulan yang berasal dari provinsi yang sama dengan dirinya. Dia bercerita sangat serius bahwa si Fulan itu sangat sakti dan punya ilmu hebat. Katanya kalau menggenggam air dengan kedua tangannya tak ada yang menetes sama sekali. Lalu saya bertanya dengan rasa heran, bahwa itu mustahil bagaimana caranya. Si sopir itu nenunjukkan tangannya dan membuat posisi tangan menyembah dan menjalin jari jemari tangannya lalu bergerak seperti memaras air. Katanya kalau air saja tidak menetes apalagi uang! Ya Tuhan, dia sedang menyindir atasan yang sangat kikir. Si Fulan itu kaya tapi suka sekali mengambil jatah giliran nyopir bawahannya.
Dari cerita sopir saya itu kita dapat belajar bahwa si Fulan yang gemah ripah loh jinawi itu ternyata tidak selamat dan sejahtera hidupnya. Bukankah sejahtera ada di otak, ada di dada. Kalau otak tidak beres dan hati kacau balau maka tidak ada yang dapat disebut sejahtera. Mengapa begitu banyakanya bangsa Sasak yang diberi rahmah dengan SDA yang luar biasa hidupnya merengut rengut, momot momot, begawe gawe, bertengkar tengkar, maling memaling dan segudang tingkah laku yang mencerminkan tidak adanya kesejahteraan?
Persoalan muncul karena cara berfikir yang keliru. Saya pernah datang kepada orang dasan saya yang momot momot. Saya beri mereka pekerjaan padat karya, mereka minta upah sekian, saya bayar kontan, besoknya ada utusan bahwa upah itu kurang dan saya bayar kontan kekurangan yang diminta. Seharusnya hasil kerja itu dipakai bersama untuk mengembangkan diri, mungkin dengan membuka usaha kecil seperti menjual pencok, urap urap, serabi dsb. Malah dihabiskan untuk makan dan merokok ramai ramai.
Disebelah proyek padat karya itu tinggal bertumpuk tumpuk keluarga miskin yang mengeluh kurang gizi dan tidak dapat menyekolahkan anaknya. Masalahnya adalah mereka hanya menganggap makan kalau pakai nasi dan lauk. Sedangkan bahan yang tersedia yang bukan beras seperti talas, jagung, ketela, ubi, uwi, gadung, sagu, sukun, gembili , biji bijian, daun daunan yang di darat maupun di air yang sangat baik untuk bahan makanana asal diolah dengan tepat tidak diperhitungkan. Kalau tidak punya uang tidak perlu menyekolahkan anak, cukup diajar mengaji dan berhitung sederhana, bahasa dan akhlak yang baik. Belajar tidak perlu di sekolah, lagi pula banyak masjid dengan kiyai dan TG dimana mana, mereka dapat dimintai pertolongan untuk mendidik ala pesantren zaman para perawi hadits yang mencari guru beribu kilometer jalan kaki.
Ada seorang pesuruh sekolah yang hidupnya morat marit dan saya ajak mengubah nasib, dengan menyokongnya. Pertama saya suruh berhenti bekerja karena hasilnya tidak cukup untu sekedar makan sekali sehari untuk istri dan 3 anaknya. Dia mengaji dan azan tiap hari tapi tidak mau kerja keras, kebanyakan menunggu uluran tangan dermawan. Saya tawari memelihara ternak tidak sampai sebulan musnah dengan alasan segala rupa. Anaknya saya latih kerja tidak mau rajin dan akhirnya hilang sendiri. Setelah berbulan bulan saya mengetahui bahwa orang tersebut telah ditolong oleh hampir semua orang tapi selalu kembali lagi seperti keadaan tidak ada yang menolong.
Sampai detik ini dia dan keluarganya hidup sangat kekurangan sehingga menderita akut maag dan darah rendah karena kurang gizi. Setelah saya meneliti dengan lebih jauh saya dapatkan informasi sebagai berikut:
Orang itu berasal dari keluarga miskin di daerah terpencil dan oleh karena itu ia tumbuh menjadi orang yang tidak teguh dalam pendirian.
Setelah merantau untuk belajar di madrasah dia lulus tapi impiannya jadi PNS tidak kunjung tercapai meskipun sudah tes berpuluh kali dan sampai habis kesempatan untuk tes karena umur beranjak tua.
Satu satunya yang diinginkan adalah menjadi PNS dan setelah gagal setidaknya ia ingin bekerja ditempat yang memberinya seragam seperti seorang PNS.
Ia bekerja sebagai penjaga sekolah dan kadang ada juga yang mengundangnya memberi les untuk anak anak tapi tidak juga menjadi rajin.
Akhirnya ia akan menjadi tua dan lelah hanya seperti itu, padahal saya sering mengatakan padanya dan kepada pepadu manapun agar melawan, jangan sampai mati sebelum sempat melawan. Ya melawan kelemahan diri sendiri.
Karena untuk sekedar mencapai kemakmuran materi itu, sangat mudah cukup dengan meneruskan ungkapan itu dengan ungkapan lain yaitu : Rawe rawe rantas, malang malang putung. Berkerjalah dengan keras dan hancurkanlah setiap penghalang.
Tetapi jauh lebih penting dari itu, ingatlah sebuah tembang yang berjudul ilir ilir.
Ilir ilir ilir ilir tandure mung sumilir
Tak ijo royo royo tak senggo penganten anyar
Cah angon cah angon penekno belimbing kuwi
Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodot iro
Dodot iro dodot iro kumitir bedah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo surako, surak hooooreeeee
Terjemahan bebasnya:
Semilir angin menghembus tanaman yang berayun
Menghijau segar bersanding bak pengantin anyar
Anak gembala panjatlah pohon belimbing itu
Meskipun licin panjatlah terus ambillah buahnya untuk mencuci sarungmu
Sarungmu melintir sobek disisinya
Jahit dan rapikanlah untuk sembayang dipetang nanti
Selagi rembulan bercahaya terang
Selagi lapang kesempatan
Mari kita sorak bergembira
(atas sebuah kemenangan)
horeee
Pemahaman saya atas bait bait itu adalah :
Bait pertama, menggambarkan gemah ripah itu
Bait kedua, menghimbau pepadu berjuang mencapai cita cita Islam
Belimbing adalah buah yang berbentuk bintang dan bintang adalah lambang Islam
Belimbing mengandung asam dan baik untuk mencuci pakaian
Bait ketiga, perjuanganmu mencapai bintang menyebabkan pakaianmu melintir
dan sobek maka jahitlah dan rapikan terlebih dahulu untuk sembahyang nanti sore
Sarung atau pakaian adalah akhlak sebgai emas yang kalau kotor dapat dicuci dengan belimbing agar berklilau. Kalau akhlak berkeliau karena keikhlasan, ketakwaan yaitu bersih dari segala perasangka, kosong dari kejahatan niat, barulah pantas mendirikan shalat.
Bait keempat, nasihat agar segera laksanakan apa yang harus dilaksanakan selagi ada penerang dan adanya kesempatan, yaitu sejak kita berusia muda.
Bila sampai pada kemenangan barulah kita dapat lega dan gembira; Hore berasal dari bahasa Mongolia, hurra! ungkapan Gengis Khan, setiap mendapatkan sesuatu atau kemenangan
Gemah ripah loh jinawi hanya menggambarkan puncak sebuah pencapaian yang diperoleh dengan perjuangan pejuang pejuang Amarta, dalam perang Mahabarata yang berlangusng berpuluh tahun. Saya pernah dengar bahwa ada dua kenikmatan terbesar yang diperoleh manusia dalam hidupnya yang tak ada bandingnya. Pertama saat berbuka puasa dan kedua saat bertemu dengan Tuhannya. Ketika saya puasa, apalagi tanpa sahur, perut saya bergolak, tidak seperti biasanya, kalau makan terus saya tak pernah mendengar gericik bahkan yang paling perlahan seklipun. Ketika perut bergemuruh itu saya merasakan sensasi hebat, semua sel ditubuh saya jadi terjaga. Kalau kekenyangan dan jadi gemuk maka semua organ jadi terjepit oleh lemak dan tak berkutik, persis seperti hewan yang terjerat. Saat menanti berbuka, rasanya seperti menunggu kekasih yang dirindukan. Ketika azan berkumandang keenam indra saya hidup, azan menembus kalbu, air putih menyiram dahaga, rasa manis tidak seperti gula, manis yang lain dari yang lain. Enam indra begerak serentak, kenikmatan apalagi yang dapat kita pungkiri? Tinggal satu lagi kenikmatan yang akan melampaui keenam indra itu yang belum saya alami yaitu bertemu dengang Kekaish Kita Sang Khaliq!
Kalau saja Bangsa Sasak mengerjakan hal hal sederhana, dengan berpikir sederhana, bertindak sederhana dan hidup sederhana, niscaya tidak akan ada cerita busung yang sakit tapi busung yang kita rekayasa dengan puasa menahan diri dari segala kerakusan dan ketamakan dunia.
Hambatan yang bersumber pada kepicikan berpikir bahwa makanan hanya nasi, pekerjaan hanya yang bergaji tiap bulan, harkat martabat bergantung pada status, seragam dan harta benda, pangkat serta jabatan, apalagi penyakit serba ingin instan, semuanya harus dan wajib di rawe rawe rantas malang malang putung.
Setelah itu panjatlah tangga menuju bintang dan jangan lupa rapikan akhlak agar bukan sekedar makmur dalam kesenangan duniawi tetapi memperoleh Baldatun Tayyibatun Warabbun Gafuur. Amiiin Ya Rabbal Aalamin.
Wallahualam bissawab
Demikian dan maaf
Yang ikhlas
Hazairin R. JUNEP
Jumat, 22 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar