Jumat, 22 Mei 2009

Sasak Ketengan

(Sasak.org) Selasa, 28 Oktober 2008 01:00
Ketika saya tiba di hotel sanur raya, seorang tokoh pemuda menyambut saya dan memperkenalkan saya pada beberapa orang peserta workshop dengan menyebut saya Lalu JUNEP. Saya tidak dapat mengelak atau meralat pembicaraan seorang yang dihormati saat bicara di depan umum.

Di Jogjakarta, setiap orang yang baru mengenal saya, serta merta memanggil saya Pak Haji, saya juga tak dapat mengatakan apa apa. Entah sudah berapa orang yang dengan gaya meyakinkan menyebut nama saya dengan embel embel yang tak ada di KTP saya.

Tiap Jumat saya melakukan shalat di masjid yang berbeda, sedapat mungkin di sebuah masjid yang khotibnya progresif dan azannya mengguncangkan indra keenam saya. Tiap Jumat itu pula saya biasanya mampir di toko buku langganan. Jumat kemarin saya terkejut ditanya oleh yang punya toko. ” Mas ini sudah ke tanah suci toh?” Saya jawab dengan enteng bahwa saat ini saya masih malu menghadapkan wajah kepada Allah Rabbul Alamin di tempat kencan itu. Orang itu memerah diwajahnya entah karena malu atau karena jawaban saya yang berbeda dari kebanyakan orang sehingga mengusik kekhusukannya.

Suatu siang seorang ibu penggerak dakwah dari kelompok Islam terdidik, datang ke rumah kami dan menemui istri saya. Melihat tikar yang masih terbentang dia bertanya siapakah yang barusan datang bertamu. Dijawab istri saya bahwa tadi itu seorang petinggi mujahidin. Wanita itu berkeringat dan berkata bahwa ia tak akan datang lagi ke tempat kami. Saya tak tahu mengapa ibu itu sampai berkata demikian, rumah kami terbuka bagi kucing, burung, ular, bunglon dan segala hewan, apalagi orang dari harakah islam berbagai nama, pun juga manusia dengan label yang sangat berbeda akidah, semuanya diterima sama baik.

Di suatu waktu di Gumi Sasak, ketika ekonomi mulai merangkak naik, banyak bangsa Sasak yang beralih menjadi bisnismen diberbagai sektor. Salah seorang tetangga kami mendatangkan mesin besar untuk perusahaannya, untuk ukuran saat itu dialah yang terbesar di kalangan bangsa Sasak di dasan kami yang mulai ramai. Mengingat ketiadaan SDM maka perusahan yang mengirim mesin itu sekaligus mengirim tenaga ahlinya dari Surabaya. Entah bagaimana ceritanya, sang tenaga akhli tak berdaya, karena mesin tak kunjung hidup setelah dua hari bekerja non stop. Si ahli mesin mulai kasak kusuk mencari orang yang lebih ahli untuk mengatasi masalah. Insinyur belum terdengar ada kecuali insinyur peternakan atau pertanian. Maka datanglah seoarng utusan kerumah kami dan dengan semangat belajar yang berapi api saya dan adik saya mengawal kakak kami yang paling jenius. Saya berperan sebagai jubir dan penonton, adik saya asisten. Kakak saya baru saja bersdiskusi dengan si ahli mesin, sebentar kemudian mulai menggarap mesin itu. Entah apa yang terjadi sekonyong konyong datanglah yang punya perusahaan yang bangunannya pakai pagar bambu, lantai tanah dan tanpa pintu itu, mengamuk dengan omelan yang lebih kejam dari cupak
yang kelaparan.

Kata sindiran dan merendahkan muncrat begitu rupa, sambil memuji anaknya yang kelas 3 SMP yang katanya lebih hebat dari teman temannya dalam bidang elektronika saja tidak bisa membantu, bagaimana mungkin ada orang dasan dapat bekerja. Sebenarnya orang itu adalah tetangga dasan kami dan mustahil dia tak mengetahui atau setidaknya mendengar reputasi kami dalam bekerja yang tak pernah minta upah karena niat menolong sesama.

Kami bertiga saling pandang dan sayalah yang paling tersinggung, tapi kami terus berada disana karena si ahli mesin mita tolong agar diteruskan saja. Mesin akhirnya hidup dan kami pergi. Orang yang mengomel itu tak mau tahu dengan angkuh dia tak pedulikan kami.

Saya membutuhkan hampir 10 tahun untuk meyakinkan tetangga bahwa saya orang baik. Semua orang kecuali segelintir, mengira saya adalah orang Sasak yang suka maling dan kawin cerai. Betapa populernya Bangsa Sasak bahkan jauh sebelum kita sadar. Meskipun saya telah membuka tempat mengaji anak anak, reputasi saya tak kunjung membaik. Masjid ditempat kami sunyi dan hanya orang tua tua saja yang rajin, ya sekitar dua shaf saja.

Kami berprinsip bahwa sekolah terbaik adalah rumah kami sendiri. Tetapi agar mendapat pengalaman dunia luas saya mengirim anak anak sekolah di tempat yang paling tidak disukai kebanyakan anggota masyarakat. Gedungnya mau rubuh, gurunya minderan dan prestasi rendah. Setelah beberapa tahun kami ikut menyulap sekolahan menjadi salah satu yang jadi pilihan utama baik SD maupun sekolah lanjutannya. Anak saya yang lelaki sekolah di SMU yang sama dengan kakaknya. Sebuah SMU berbasis Islam yang paling terpuruk, karena berhasil menyulap SMP sejenis menjadi populer, saya berharap SMU ini dapat segera berkembang. Ternyata Sekolah itu adalah tempat menampung anak buangan dari segala penjuru dan lebih separuhnya adalah anak duafa yang dibiayai yayasan islam yang memungut sumbangan dari masyarakat. Salah satu anak buangan dari Jakarta, bilang pada anak saya bahwa dia bingung bersekolah di tempat seperti itu, karena tidak ada yang bisa dikompas atau diperas, semuanya miskin. Anak itu cerdas dan kaya tapi akhirnya tidak naik kelas dan menghilang. Sekarang anak saya kelas 3 dan temannya itu sudah kuliah di UNY, salah satu universitas yang diperhitungkan di Jogjakarta.

Bagaimana mungkin anak yang tidak naik ke kelas dua bisa melompat dan lulus UNAS serta menembus UMPTN? Pertanyaan yang membuat kita tertegun tapi jawabannya lebih mencengangkan lagi. Anak itu dapat sekolah yang lebih bobrok dari SMU sebelumnya. Ia membayar semua yuran sekolah 3 tahun sekaligus dan berbagai sumbangan dan langsung masuk kelas 3 serta ikut UNAS dengan jawaban sudah ada di papan tulis, ceritanya. Tapi masuk UMPTN yang ketat mustahil dia melakukan kecurangan. Anak itu pastilah cerdas dari awalnya. SMU anak saya penuh dengan manusia yang tak mengerti pendidikan yang sesungguhnya. Anak yang gelisah dan bertingkah dianggap tidak bisa diajar dan diabaikan saja. Sekolah berikutnya mengambil kesempatan untuk mencari uang dengan jalan pintas.

Kalau terus dibeberkan cerita dari berbagai kalangan pastilah tak akan habis. Dengan cerita diatas dapat kita bayangkan betapa kerusakan kemanusiaan kita makin hari makin parah. Orang memandang segala sesuatu dari kulit luar saja, tidak berhenti demikian meskipun melewati pendidikan yang dianggap baik.

Orang dapat menyebut apa saja dan bahkan memanggil orang sesuai dengan apa yang diketahui meskipun sangat minim. Dan orang dapat menilai seseorang hanya dari yang didengar sayup sayup dan menggebyah uyah ( menyeragamkan) seolah siapa saja yang datang dari tempat si fulan juga sama dengan si fulan itu.

Orang yang mengelompokkan diri berpikir bahwa masyarakat luas ini berbahaya, kita harus membuat kelompok elit baik berdasarkan aliran keyakinan atau kepentingan sesaat. Orang mulai memilih hidup di kompleks dengan penjagaan satpam. Tidak kenal tetangga karena bagi mereka tetangga sama saja mengganggunya. Anehnya orang orang itu tetap mengundang tetangga lamanya kalau mau pesta dan tetap mencatat nama demi nama, kalau perlu berapa isi amplop sekalian ditulis.

Masyarakat kita pada umumnya sangat suka mengambil apa saja secara ketengan, kebiasaan membeli atau memperoleh sesuatu dengan mengambil ketengan atau eceran serta merta berpengaruh pada peri laku dalam memperoleh pengetahuan. Pemuda di Bali itu menganggap semua orang Sasak memakai Lalu. Sedangkan di Jogja teman teman baru saya mengira semua orang Sasak dewasa sudah harus naik haji.

Kelompok gerakan islam tertentu merasa lebih afdol dari yang lain dan menganggap suatu kelompok sebagai ekstrimis bahkan teroris, tanpa mengetahui detail apapun tentang harakah tersebut.

Pengusaha yang pongah itupun menganggap semua orang Sasak bodoh karena termakan oleh ungkapan ; “Bodoh orang Sasak jual sabo murah murah”. Padahal ungkapan itu dibikin orang Sasak sendiri untuk mentertawakn diri. Dan sekaligus mengejek orang Jepang yang tak mengetahui beda satu jenis buah buahan dengan yang lain karena sangat mirip penampilannya.

Para guru di Sekolah itu hanya ingin mengurus murid yang penurut seperti keledai, karena mereka dibayar murah, dan juga kualifikasi yang rendah, mereka tak sanggup menghadapi tantangan yang lebih rumit dari perkara kreditan mereka di Bank. Mereka tak pernah belajar dari riwayat Thomas Alpha Eddison dan tokoh lainnya

Ketika di sekolah, dari SD sampai SMU sebagian besar guru saya mengajar dengan memberi rumus, seolah rumus itulah yang menjadi pokok dari semua proses pembelajaran. Waktu SMP saya sangat suka ilmu ukur, entah apa sebabnya, saya selalu dapat menebak hasil perhitungan yang tak satupun difahami rekan saya sekelas. Setelah itu saya kehilangan minat karena rumus lagi dan rumus lagi. Hampir semua mata pelajaran diketeng menjadi rumusan ringkas. Bahkan Bahasa Jerman harus disingkat seperti lagu es mambo! Judulnya ESTENTEN! Dan itulah satu satunya yang dihafal oleh lulusan SMA yang belajar 3 tahun bahasa Jerman di masa Lepang memikul kopra.

Semua kita ecerkan dan bangga dengan modal ketengan, karena pengetahuan tentang diri sendiripun hanya serba minim, kita maju ke ajang internasional dengan wajah kurang PD. Semua bangsa besar mendikte kita karena kita tak mengerti perilaku bangsa asing, kita sangat mudah berkata bahwa bangsa asing terutama kulit putih itu tidak punya aturan dan perempuannya dapat diajak tidur. Sampai seorang mahasiswi Polandia yang cantik jelita datang kepada saya dengan tersedu karena banyak teman kuliahnya di Solo mengajaknya untuk berhubungan badan dengan kata yang terang dan jelas! Mahasiswa mahasiswa itu pastilah telah mengeteng informasi dan hanya mendapat gambaran dari beberapa film tak bermutu yang sanggup ditonton di bioskop kelas kambing.

Para sarjana kita yang lulus dengan IP bagus tak sanggup memasarkan diri (self marketing) dengan baik, karena mereka merasa IP tinggi itulah satu satunya jalan. Wawasan ketengan didapat dari sekedar kebiasaan memfotokopy bagian yang dianggap penting dari literaturnya. Ditopang pula dengan perilaku para pengajarnya yang pandir.

Seorang dosen senior bilang pada saya bahwa pak Dekan memberi instruksi agar mahasiswa di beri nilai minimal B karena mereka tak butuh ilmu, mereka hanya butuh ijazah untuk penyesuaian di kantornya. Dosen lainnya yang pernah jadi pejabat di kampus, saya tanyakan, mengapa dia selalu di mana mana seperti orang bebas. Sang dosen menjawab bahwa si fulan itu mengambil doktor dengan demikian dia bebas tidak mengajar dan gajinya utuh! Dan dengan sengaja menunggu DO, sekalian pensiun kelak karena dia tak butuh DR itu. Saya katakan ; Maling semua! Dia jawab : Ya, maling semua!

Kita sungguh manusia ketengan!.

Wallahualambissawab

Demikian dan maaf
Yang ikhlas


Hazairin R. JUNEP

Tidak ada komentar: