Jumat, 29 Mei 2009

mA Ling

(Sasak.org) Senin, 18 Februari 2008 01:00

Jam diding menunjukkan Waktu Indonesia Tengah, 14.10. Aku bergegas memasuki ruang pengambilan barang. Bandara Selaparang ini kecil, dalam bayanganku tak lebih luas daripada Rambang. Seorang porter mendekatku seraya menawarkan untuk mengangkut lagez katanya. Aku menaruh tas punggungku di atas kereta barang yang dibawa sembari menunggu barang bawaan yang dimasukkan satu persatu pada ban berputar. Aku menunggu cukup lama, kulihat tag didada porter tertulis Johan.

Aku memanggil namanya, Pak Johan? Kata ku. Dia menoleh dan menyahut dalam bahasa Inggris. My name is John katanya dengan logat Sasak. Aku terkejut dan langsung meminta maaf juga dalam bahasa Inggris. I am sorry, mata ku agak bolax so I can’t see clearly!. Mr. John, are you from Australia?. Oh no, I am Sasak Beleg, Sir! Timpalnya. Lamun meno kataku, aku mau ke WC. Nggih?. John terkejut, ada pemegang paspor asing pakai bahasa Sasak.

Keluar dari WC John telah siap mendorong kereta keluar menuju parkiran taksi. Aku menengok nengok kea rah deretan mobil, ada satu kijang super aku lihat yang agak bersih. Aku Tanya orang yang berebut menawarkan mobilnya, dimana sopir kijang itu.

Seorang memanggil, “Lal kau dicari!”, tahulah aku nama sopirnya si Lal. Aku mengajak John ke kijang itu dan menaikkan barang. Lal siap membuka pintu, aku mengangsurkan uang 30 ribu kepada John. “Thank you Sir! Eh tampi asih mix!” serunya girang.

Aku duduk di belakang sopir dengan tas punggungku, aku sudah sepakat dengan Lal, ongkos mobilnya 300 ribu sehari, terserah aku pakai sampai jam berapa tapi maksimal 10 jam. Aku menghitung perjalanan ke Selong tentu hanya satu sampai satu setengah jam. Aku melihat barisan TNI AU di lapangan luar Bandara. Mereka ini yang sering ku dengar menebaki petani miskin yang mengerjakan lahan kosong di sekitar markas mereka. Karena para petani menganggap lahan mereka belum pernah dijual atau TNI yang merasa telah membeli. Masing masing dengan pembela dan alat bukti yang sama kuatnya.

Aku minta Lal membawaku melintas jalan bypass dan masuk kota Ma Ta Lam, dan aku melintas ke timur lewat Pa Chang dan masuk ke Chak La. Kecil sekali ibu kota gumi Selaparang. Gedung yang besar hanya Bank Indonesia dan kantor gubernur bentuknya seprti Lumbung padi pada brosur iklan wisata yang beredar di Eropah. Punya lumbung sebesar iru tapi de dipannya orang dasan menderita busung lapar. Itu aku dengar dari Radio BBC. Sampai hati orang yang duduk sebagai kepala suku enak-enak makan sedang rakyatnya busung lapar. Kelak di akhir zaman meski mulut bungkam kaki dan tangan akan bicara membongkar kebobrokan akhlak manusia…

Sampilah aku di dekat Taman kecil bernama Ma Yu La, taman kebanggaan orang Lombok ini milik umat hindu. Kelak aku akan ke situ kalau sudah berta’ziah kepada leluhurku di Labuhan Haji. Mobil melaju ke Nal Ma Ta dan terus ke Tha San Te Leng..

Aku terkejut setengah mati. Tas punggungku sobek agak lebar di sisi depan. Aku periksa tasku dan Aduhai, satu tas kecil lenyap. Aku kehilangan uang dan tiket pesawatku.Untunglah paspor telah aku keluarkan dan aku masukkan saku celana kalau-kalau ada pemeriksaan. Aku teriak; “ Lal, balik ke Bandara!, aku kehilangan”.Sambil aku tunjukkan tasku yang sobek. Lal ngebut kembali ke Bandara dan kami mencari porter bernama John.

Aku mencari dan menanyakan ke mana-mana tak ada yang tahu John disitu. Satpam bilang tak ada yang bernama John disitu. Aku bilang ciri-cirinya : Pendekar Belt! Pendek Kekar dan Bedeng Leteng!. Satpam geleng-geleng, katanya tak ada petinju bekerja disitu.

Aku kecapaian, pihak Garuda bilang, mungkin hilangnya di Jakarta. Mustahil, aku selalu menggendongnya kemana-mana dan aku tidak berhenti waspada. Yah aku harus relakan saja. Beberapa ratus Euro dan mata uang Amerikaku biar dipakai makan si Pendekar Belt dan keluarga besarnya. Mudahan dia itu salah satu yang berjiwa Robin Hood, yang mencuri untuk dibagikan orang miskin. Aku harus sabar dan rela karena aku juga punya misi perdamaian ke tanah leluhurku. Dengan kehilangan ini semoga Allah memberiku kemudahan.

Aku dan Lal tancap gas kembali ke timur, aku menikmati pemandangan sepanjang jalan di daerah Loteng yang kering,tapi disitu tumbuh subur tembakau kelas dunia. Meski aku sudah tak merokok sejak 20 tahun silam aku masih ingat rasa tembakau KESTURI yang dibawakan seorang teman yang pernah ikut rombongan turis ke Lombok di awal 80 an. Rasanya manis dan hampa. Aromanya lebih cendrung seperti bahan aroma terapi. Memang sebenarnya tembakau adalah bahan obat untuk terapi tetapi lambat laun manusia melak osok jadi adiktif dan menjadi penggila temabakau. Maka selain karena Ekex- pengotor dan melut- tidak disiplin, tembakau adalah penyebab segala penyakit orang Sasak. Sering penyakit saluran pernapasan yang akut sampai TBC merajalela menghantam sebagian besar nonperokok. Penyebabnya tak pernah ditangani tapi ribut mengobati penyakit yang selalu datang lagi. Satu batang rokok kretek dapat membunuh 10 ribu sel di tubuh manusia. Kun Mu Gawe, Kun Mu Dapet, Mu rasax -Apa yang kau tanam itulah yang kau panen, kata orang Siren.

Kao Fang hanyalah terminal kecil tapi mesjidnya megah sekali, meski kosong tanpa aktifitas sore itu. Perbatasan Loteng terlihat diantara pucuk bambu, memasuki Lotim dikanan jalan ada telaga, aku ingat waktu kecil suka mencebur di telaga kecil di persawahan desa Pe Ne Tha, tak jauh dari Labuhan Haji, telaga yang penuh dengan kepiting air tawar dan di selokan berpasir udang air tawar sama banyaknya dengan pasir itu. Tapi kolam ini sama sekali tak berair, hanya ditengahnya ada rumput yang sedikit menghijau dan seekor sapi kecil sedang merumput disana.

Aku memasuki Te La La, tidak banyak kulihat pembangunan, hanya gedung sekolah dan kantor pemerintah di sisi kiri kanan jalan. Setelah itu aku baca pelang besar di depan masjid yang lebih megah dari sebelumnya MASBAGIK di peta bapakku tak ada kota ini.Apa dia lupa menuliskannya. Lal Bilang ini pasar penting untuk ternak di Lotim. Memang Bapakku pernah cerita kalau di Lombok Timur peternakan sapinya unggul, karena Orang Sasak memelihara sapi dengan kasih sayang melebihi kepada sesama manusia. Tak heran disana berkumpul sapi-sapi paling berat se Indonesia. Untung belum pernah seorang zuhudpun memimpikan 7 sapi gemuk memakan 7 sapi kurus di Selaparang ini.

Bapakku pernah wanti-wanti berpesan kepadaku, bahwa aku hendaknya berlapang dada kalau sampai di Gumi paerku. Beliau membuatkan aku peta yang mirip-mirip jauh dengan peta buatan ahli kartografi professional. Petaku ini lebih mirip oktopus atau gurita. Maka supaya lebih menarik aku beri mata di Sambelia dan Tanjung Gunung. Mata gurita ini ku beri warna hitam dan merah dipinggirnya. Kaki-kakinya aku perpanjang semenanjung yang menjorok ke arah Australia adalah kaki kirinya yang panjang , Ekas kaki tengah dan Aan, kaki kanan yang panjang smenanjung Selong Belanak. Jadilah oktopusku dengan titik sepenuh badannya. Tiap titik besar Bapakku menuliskan dengan nama-nama Tiong Hwa semua desa besar di Gumi Selaparang. Banyak Tempat yang aku tak tahu nama sebenernya. Karena sudah tebiasa bicara dengan nama logat Cina akupun merasa lebih dekat dengan menyebutnya secara demikian.

Bapakku meminta maaf saat mulai cerita tentang tanah leluhurku itu. Dia katakana bahwa aku tak boleh berubah sedikitpun dalam hal menyayangi, menghormati bangsaku sendiri. Diantara ceritanya, beliau menyebut bangsaku sebagai orang –orang polos dan baik hati. Mereka akan mengabdi pada orang yang dipercaya dan tak akan berkhianat sampai kiamat. Kesholehannya termasyhur sampai ke negeri yang jauh. Keberaniannya menentang ketidak adilan dan penjajahan adalah yang paling menonjol di seantero Nusantara. Lihat berapa Jendral Belanda yang dikubur di Chak La.

Saat menceritakan sisi gelap Orang Sasak, Bapakku bicara perlahan dan sedih. Bahwa diantara para Sasak yang digdaya, satria dan polos itu ada berkeliaran maling, rampok, pencoleng dan penipu. Janganlah kau memandang rendah bangsamu sendiri dengan adanya orang jahat seperti itu, nasihatnya. Jagalah kebeningan hati dan kejernihan pikiran, seperti aku baca dalam riwayat Nabimu yang hebat itu, ikutilah Beliau , lanjutnya. Bapak dan Ibuku adalah penganut Kong Fu Chu, yang meyakini Kong Fu Tse sebagai Nabinya. Mungkin itu adalah salah satu dari 125 ribu nabi yang ada di dunia ini.Ya, orang yang sabar adalah kekasih Allah. Allahlah yang menuntun aku dalam jalan ini. Karena 17 kali sehari aku meminta jalan lurus dalam shalat wajibku. Allah pasti membimbingku.

Aku tiada khawatir mengenai orang jahat, waktu aku kuliah dahulu, pernah aku membaca statistic mengenai ragam penghuni sebuah kota atau desa atau dasan sekalipun. Meski itu didasarkan pada penelitian di barat tentu tidak terlalu jauh bedanya dengan di timur. Dikatakan bahwa ada 2% penduduk yang jahat dan 2% pula yang baik sekali. Dari tiga juta orang Sasak dalam angka, diujung ekstrimnya yang diatas ada 2% orang Zuhud dan diujung lainnya ada 2% raja diraja Maling. Kita ambil yang agak ke tengah tentu di bawah orang zuhud ada alim ulama dari yang paling sholeh sampai kiyai atau ustad yang tukang jual ayat. Kalau kita mulai dari bawah lalu ke tengah sesudah raja diraja Maling tentu ada pencoleng, penipu dan koruptor dari yang kakap seperti yang bercokol di pemerintahan dan dewan, PNS yang menerima suap dalam proyek kecil seperti pengadaan alat kantor, sampai guru yang mencuri kecil-kecilan dan bolos mengajar. Yang paling besar jumlahnya tentu kelompok munafik yang pergi ke masjid 5 kali se hari untuk senam. Mereka ini masuk ke wilayah mana saja untuk memuaskan nafsunya.

Kalau ada mahasiswa statistik yang menghusukan meneliti fakta-fakta itu niscaya semua orang Sasak jadi mukmer dan nyebox dirix karena sungguh mengerikan keadaan masyarakat yang sesungguhnya. Itulah alasan utama orang-orang zuhud menarik diri dari pergaulan tanpa menghilangkan kewajiban sosialnya.

Aku membuka kembali catatan nama-nama orang ada nama Amax Rumiah, dia ini seorang kurier pemberani yang bertugas mengangkut barang kiriman dengan cikar jalur Rarang hingga Labuhan Haji. Amax itu juga tukang masak nomor wahid. Ada juga La Sitah perempuan penjual makanan di pasar Selong. Aku akan mencari mereka atau setidaknya keturunan mereka yang pasti sekarang hidup di Selong atau sekitarnya. Nama Cina ada catatan dua bersaudara Yok Mbing dan Yok Oncen yang punya pabrik minyak kelapa di Labuhan Haji dan Gedung bioskop di Selong. Semoga aku dapat bertemu keturunan orang –orang itu

Aku meneruskan perjalanan lewat Kla Yu dan Tan Chung, bapakku bilang di dekat Tan Chung ada Te Los yang terkenal dengan dukun saktinya. Nanti akan aku cari tahu apakah dizaman ISO 9008 masih ada orang Te Los yang main kelenik begituan. Akhirnya aku liat sayup jembatan kecil, mungkin aku ada disekitar Sisix tapi aku tak melihat tanda-tanda sebuah bekas ibu kota disitu. Mobil melintas jembatan, sungainya berair keruh penuh sampah pelastik. Aku minta Lal menghentikan mobil di kanan jalan.

Lal memarkin mobil dekat sekali dengan Bong Cina (makam Cina). Aku mencari –cari makam dengan nama yang aku kenal tidak satupun aku temukan. Hanya bebeapa yang masih utuh. Jauh dari sana ada bagian khusus untuk orang Sasak dan aku masuk. Dengan suara pelahan sekali aku berucap, “ Assalamualaikum Ya Ahlil kubur”, akupun sedang menanti waktu untuk sampai ke tempat kalian. Semuanya makam baru tak ada sisa makam lama, karena orang Sasak taat agama mereka tidak membangun makam.

Aku tertunduk dan berdoa disudut timur makam. Pao Fang Fang, hanya rimbun daun bambu dan pokok kelapa disana-sini. Tak ada rumah di dekat situ. Hanya lapangan agak keseberang. Kosong dan agak kecoklatan. Burung-burung petux dan berugax mencari makan. Ada kambing terikat di sudut lapangan dan dua tiang gawang masing-masing di ujung sini dan sana.

Aku berdoa dengan syahdu selama satu jam aku disana. Doaku buyar ketika angin menyapuku dengan keras, daun-daun bambu menerpa wajahku seakan menyambutku kembali ke tanah tumpah darahku.

Tak ada kota yang indah seabagai dalam bayanganku. Toko-toko apalagi. Penduduk saja tidak ada. Aku memberi isyarat pada Lal agar menungguku disana. Aku berjalan sendiri sampai batas paling jauh lapangan itu. Sebelum perumahan sederhana di kanan jalan ada bekas-bekas puing tapi tak terlihat seperti puing kota Pecinan yang dahulu pernah berjaya sebagi pusat urat nadi perekonomian Gumi Selaparang.

Hari mulai senja, aku minta Lal mengantarku ke Dermaga. Lal agak bingung dengan permintaanku maka aku bilang pantai. Sesampai di pantai aku melihat kesenyapan yang tiada terperi. Kotor dan tidak terawatt. Jalan beraspal memang membentang dari utara ke selatan. Tapi tak ada bunga dan pohon penghias atau peneduh. Seekor anjing kampung yang buduk lari kea rah sepuluhan perahu yang diparkir dipasir pantai. Tak ada anak bermandi, airnya kotor dan bersampah. Di gubuk yang tak berdinding aku lihat anak-anak bermain kartu, seorang anak yang matanya buta sebelah tertawa dengan badulan dua batu baterei mengantung di telinga kanannya.

Aku harus segera mencari losmen untuk istirahat. Lal membawaku kembali ke Pancor. Aku menginap di losmen yang kecil dan tak reperesentatif. Tapi tak boleh ada keluhan, ini adalah tanah airku. Aku Shalat malam dengan rasa syukur bahwa aku telah sampai di Gumi Selaparang. Dimana kau berpijak disitu langit dijunjung. Hujan emas dinegeri orang hujan batu di negeri sendiri, lebih baik negeri sendiri. Aku masih akan tinggal disini setidaknya 3 bulan sesuai visaku. Aku akan berusaha walaupun ada hujan batu. Besok aku akan mencari lagi orang-orang yang ada dalam daftar itu, meskipun aku harus menjelajah semua wilayah di peta oktopusku. Kenalilah dirimu agar engkau dapat mengenali Tuhanmu. Ya aku sedang mencari jati diriku.

Jogjakarta, 18 Feb. 2008 jam 10.40 WIB

Wallahualam bissawab,

Demikian dan maaf,
Yang Ikhlas

Hazairin R. JUNEP

Tidak ada komentar: