(Sasak.org) Selasa, 06 Januari 2009 11:14
Pernah seorang inax guru berjalan disepanjang lorong dasan dan setiap orang yang kebetulan berdiri dipintu rumah masing masing atau bahkan diluar segera undur diri dan lari masuk ke rumah. Saya liat teman teman saya atret, entah mengapa saya seperti ditarik besi sembrani ikut tertarik ke belakang. Celakanya badan saya tidak cukup refleks untuk cabut ala Sasak yang lincah seperti layangan disetir angin dari Rambang, saya hanya bergerak seperti layangan goweng yang berat ekor.
Inax guru itu melihat saya atret seperti undur undur pineng, teriak keras sekali. Dia bilang; "Terus pade sebox dirix, ndax ke nyebox lex bale, lalo pade rarat jaoxan!". Artinya, teruslah kalian bersembunyi, jangan hanya sembunyi di rumah, pergilah larikan diri sejauh mungkin!. Inax guru itu adalah seorang koriah berkelas dan daxiyah handal. Dia sangat prihatin dengan generasi muda dasan kami yang serba, molah molah hidupnya. Bangun pagi langsung nongkrong dan merokok dipinggir jalan. Setelah itu makan serabi dan keludan. Siang sedikit sarapan dengan beberox urap urap dengan ketupat.
Beberoxnya lengkap dengan pilihan kangkung, bebiru dan berubusan kedelai atau kacang hijau. Nutrisi sebagus itu akan menjadi daging dan kentut saja karena tidak ada kreatifitas. Seorang perokok dengan bangga dapat menawarkan rokoknya kepada orang lain meskipun tidak merokok. Belum pernah ada bebajang yang menawarkan sesuatu yang lebih bermanfaat dengan gratis sepertihalnya rokok itu. Saya baru menyadari bahwa dari bongkot sampai menange generasi dasan saya adalah orang yang sangat pemalu. Di sekolah mereka juga rada pendiam kalau diajak ikut pramuka jarang sekali mau bahkan majalah dinding di pintu masuk sekolahan sudah setahun dihiasi kertas yang sama, tulisan yang sama dengan warna memudar. Guru pembimbing lalai, murid murid mencari kesempatan untuk sembunyi. Di kelas yang jumlahnya 45 orang, hanya 3 orang yang mau bicara atau sekedar bertanya. Yang satu pintar, yang satu cerewet dan yang satu lagi pamer sedang 43 anak jadi mayoritas diam.
Suatu hari seorang bajang pulang dari rantau setelah menyelesaikan pendidikan tingginya di seberang. Dia mengajak generasi muda dasan untuk bangkit dan membangun jati diri yang selam ini loyo. Mereka mengeluhkan pejabat yang semuanya orang Jawa atau pendatang lain. Mereka merasa akses bagi mereka ditutupi. Anak bangsa yang berpangkat tidak peduli dan tidak menolong sesama khususnya kalau ada bukaan penerimaan PNS. Masing masing bajang dasan mengeluh. Kawan besar kita yang sarjanan itu bertanya tentang kesiapan mereka merebut kesmpatan dan posisi di pemerintahan, di perusahaan. Mereka tidak bicara sedikitpun karena sebenarnya tak ada yang siap bersaing.
Kawan kita itu menawarkan pilihan lain untuk berwiraswasta, tidak ada satupun pemuda dasan yang tertarik. Akhirnya tawaran terakhir adalah menjadi TKI di Malaysia. Setelah ratusan bajang pergi baik dengan cara legal atau menyelundup, mereka yang telah pulang mulai membentak bajang bajang yang menganggur. Mantan TKI itu menyadari kelemahan diri yang mayoritas berpangkat mayor dan yang minoritas berpangkat jendral. Para mantan TKI mendorong agar generasi dasan lebih rajin bekerja dan belajar sungguh sungguh untuk mencapi derajat ilmu yang tinggi. Selama ini mereka menyadari bahwa bangsa kita hanya cukup pandai untuk menombak tandan sawit dan mengandalkan punggung kuat untuk memikul dan mengangut buah sawit. Itu tak masalah, nyatanya mereka hidup lebih makmur sekarang. Tapi ketika menombak tandan tandan itu, sambil mengusap peluh dan menghitung tetes keringatnya dengan ringgit, dia tersenyum hanya sekejap. Ketika dilebarkan matanya yang agak sipit, dia sadar mandornya adalah orang Tagalog. Bedanya tidak ada, rupa dan gaya sama, tapi mereka berpendidikan sedikit diatas kita dan dalam waktu singkat jadi mandor, klerek dan lain lain.
Para sasak diaspora gelisah melihat anak bangsanya tiduran di sembarang tempat di KL International Airport, Di Singapura, di negeri negeri Arab. Mereka tak berdaya, kita mengenal mereka karena selimutnya yang menutup seluruh badan dari kaki sampai wajah tak tampak. Bergelimpangan di lantai. Para diasporan bertemu dan berdebat bahkan saling serang dan maki meskipun diselingi bejorax tidak ada sedikitpun menghilangkan ketulusan mereka untuk beriuk mengangkat anak bangsanya.
Satu kata, mereka ingin membuat yayasan untuk mengejawantahkan perjuangan membebaskan anak bangsa dari belenggu penjajahan. Penjajahan itu bernama ketidak adilan, kebodohan dan keterpurukan. Penjajah itu bukan orang asing yang bule tapi sawo matang dan kalau bicara logat T- nya sangat khas " TH". Penjajah itu adalah diri sendiri! Rupanya, para diasporan itu, sama dengan bajang bajang dasan saya, bersembunyi dan memelihara rasa takut, minder yang luar biasa. Mereka berpikir, kalau kita buat yayasan, kelak akan jadi ajang rebutan pengurus, kalau sudah ada hasilnya berupa uang harta dan saham dimana mana. Hendaknya kita tidak membuat yayasan yang akan menajadikan kita pecah. Kalau kita biarkan saja tidak ada yayasan, legalitas kita dipertanyakan orang.
Kericuhan anak dasan yang mengeluhkan jendral minoritas tapi tak berani maju untuk melawan dengan kekuatan ilmu dan pegalaman terjadi juga di alam maya ini. Bahkan bermimpipun dihalang halangi, subhanallah, begitu kuatnyakah jerat psikologis yang bernama rasa rendah diri, sehingga kita tak dapat berbuat lepas lepas dan lepas. Kita seharusnya belajar ikhlas dengan melepaskan apa saja, baik prasangka buruk, rasa khawatir ditipu, apalagi rasa iri, dengki, pelit dan semua rasa yang menghambat. Maukah kita mencoba melakukan segala sesuatu dengan rasa sayang, cinta, empati dan lapang dalam menerima hal buruk bila kelak menimpa kita?
Marilah kita lakukan apa yang bisa kita lakukan sekarang, bentuknya apapun, mau yayasan atau LSM dan bahkan tidak berbentuk juga, tidak masalah yang penting kita berbuat. Di Lombok sedang ada perjuangan membangun Yayasan regional, nah pusatnya dimana kok sudah ada regional. Kemudian namanya disebut Komunitas Sasak, bukankah itu untuk menyebut Sasak diaspora?. Kalau di Lombok seharusnya namanya bangsa Sasak, karena mereka bukan sekedar komunitas tapi bangsa di negeri sendiri. Para pionir tidak perlu memikirkan berapa orang yang aktif dan mau mendukung. Cukupkanlah diri dengan memilih pemimpin disana. Jangan ada yang berkata:" silax ngiring", " silax de mulai, tiang jax mangan julux", " side bae mikir, tiang mele tindox", Ite ngeno mesi". Semua idiom khas Sasak itu diusahakan sesgera mungkin ditranformasi menjadi " Silax te beriux maju", " Silax te tingkles selane, beriuk angkat bangsen tite", " silax niki lamun pelinggih kayun, arax bale, tanax, kepeng, montor, cidomo, speda, kenyamen, manux, bembex, sampi, kelambi bekas, buku, batex, awis, tambah, linggis, jangan kelax, sebiye, trasi, empax, bebadong (nyumbang tenaga) dsb, silax pelingihde kawih jari kerahayuan bangsen tite!".
Semeton, jangan ragu lagi, ini abad ke 21, milenium ke 3, jangan sampai orang bilang bahwa di negeri Rekiblik Demokjangkih, waktu terhenti, bagaimana tidak berhenti, semua momot dan mati satu persatu karena busung lapar, keterpurukan dan kebodohan. Sementara yang pinter pinter terus minterin anak bangsanya dan berdebat, jangan ini jangan itu, laun...laun...laun...
Wallahualambissawab
Demikian dan maaf
Yang ikhlas
Hazairin R. JUNEP
Rabu, 20 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar