(Sasak.org) Jumat, 07 November 2008 01:00
Beberapa waktu yang lalu saya mengetengahkan beberapa langkah yang ditempuh Anak Bangsa Sasak dalam memperjuangkan ekonomi mereka dan salah satu yang paling kontroversial adalah MALING. Saya memaparkan betapa kuatnya karakter maling yang sudah jadi alias professional itu. Saking kuatnya penggambaran saya itu ada sebagian yang menganggap saya bersimpati pada maling. Maling itu adalah anggota masyarakat Sasak yang terhormat, dalam arti dia sangat bangga pada dirinya, tentu kebalikan dengan masyarakat luas yang memusuhi dan sebisa mungkin menghapuskan mereka dari bumi ini.
Kita sering mendengar ada yang menyebut anggota dewan itu terhormat. Tentu dia terhormat karena dia menghormati dirinya, tapi ketika hilang rasa hormat pada dirinya mereka berubah jadi maling yang lebih kakap dari maling paling profesional di Lombok sana.
Di Lombok Timur ada program yang sangat hebat, mungkin satu satunya di dunia. Mengangkat maling jadi pengusaha kecil!. Di seluruh dunia yang namanya kriminal telah menjadi rahasia umum bahwa mereka menjadi duri dalam daging bagi masayarakat banyak. Tiap orang disuatu lingkungan mengetahui dengan terang dan jelas kalau ada seseorang yang terlibat kejahatan. Tapi hukum kita selalu hati hati dengan berpegang pada praduga tak bersalah.
Waktu di Selong ada seorang maling beken, badannya tinggi parasnya bagus dan bahasanya jelas. Meskipun dari segi pendidikan minim tapi penampilannya parlente, sekelas Dede Yusuf di film actionnya. Semua orang membicarakannya sebagai maling tapi tak ada tindakan yang mengarah pada mengucilkannya. Dia bebas keluar masuk kampung dan orang menyapanya dengan biasa saja. Mereka mencoba menunjukkan wajah ramah agar tidak dijadikan korban di malam hari.
Pemuda itu pengangguran, seandainya semua tanggap menawarkan pilihan pekerjaan mungkin ceritanya akan berbeda. Dia hanya luntang lantung dan untuk menunjang penampilannya dia harus melirik kiri kanan agar dapat menyambar barang yang tak dijaga.
Di dasan sebelah pernah ada keluarga yang sangat miskin, tak punya rumah. Mereka tinggal di atas kali diantara rumpun bambu yang padat. Gubuk mereka dibangun gotong royong diatas tanah orang lain. Kemiskinan yag menjerat membuat mereka kurang dihargai tetangga dan dimarginalkan. Ada 2 KK didalm gubuk yang sama dengan jumlah 7 orang. Kakek nenek, satu anaknya berkeluarga dengan 2 anak dan anak perempuan yang pengangguran. Saya membaca situasi mereka ketika saya tanpa sengaja memperhatikan kehidupan keluarga itu saat lewat jalan jalan bersama anak saya di daerah persawahan.
Segera saya menghubungi tokoh agama yang berpengaruh dilingkungan kami seraya menerangkan dengan terang dan jelas bahwa anak anak kecil itu dalam 2 tahun akan menjadi kriminal kalau tidak ada tindakan cepat menyelamatkan mereka. Saya membiayai semampu saya untuk mengirimnya ke TPA dan membantu keperluan sekolahnya. Tidak sampai setahun tokoh yang saya mintai bantuan untuk mencegah bencana itu mulai bosan atas perangai anak anak itu yang kurang tertib. Saya tekan agar jangan terlalu ketat yang penting dia tetap ada ikatan dengan TPA dan sekolahan. Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diaraih, guru sekolahnya bertindak lebih cepat dari kemampuan saya mencegah, anak yang sulung dipecat dari sekolahnya dan itu membuatnya berhenti dari TPA. Tidak sampai 2 tahun sejak saya katakan ancaman itu. Si anak malang yang berusia 12an tahun itu memperkosa balita setelah menonton VCD porno ditetangganya. Dalam waktu singkat dia menjadi pencuri ulung tapi setelah perkosaan atau tepatnya pelecehan seksual terhadap balita tetangganya itu dia dikirim kepenjara anak anak….
Tiba tiba semua tetangga berkeras mengusir mereka dari kampung itu. Merek tak punya tujuan, mereka telah tinggal disana sejak dua orang mbah itu masih muda, entah berapa puluh tahun. Sekarang mereka diusir dan mereka menghilang begitu saja. Saya yakin ditempat baru mereka pasti berbuat hal yang sama. Mereka adalah manusia yang dipinggirkan dan dengan sadar para tetangga membimbing mereka menjadi pecundang, maling, pemerkosa dan seribu sebutan jelek yang mungkin diucapkan oleh
mulut tetangga sendiri.
Saya pernah mendengar bahwa seorang maling Sasak dapat memikul sapi seorang diri, entah sapi kecil atau besar, pastilah orang itu sangat kuat. Perjalanan yang ditempuh maling sangat berliku, untuk menghindari jalan yang biasa dilewati orang kampung. Kalau seekor sapi bisa dimakan seratus orang di kampung sang maling, sudah pasti dia menyelamatkan busung lapar yang lumayan, terlepas dari cara dia memperolehnya. Ada maling yang sampai dipanggil mamix, sebagai rasa hormat orang kepadanya saking dermawannya. Mamix adalah sebutan sayang (diminutif) untuk amax di gumi Sasak.
Maling yang dermawan itu membagikan semua hasilnya untuk orang kampung. Banyak dari maling prof itu pernah mengenyam pengalaman mengaji di madrasah. Mereka melihat ustadnya yang berprilaku seperti maling. Ada ustad yang membuka pondok untuk mencari hidup dan bermewah mewah. Mereka menggunakan dana sumbangan untuk memuaskan hausnya akan harta dunia. Ada juga tokoh agama yang sekedar pernah sekolah di pondok seorang syaikh, tiba tiba muncul jadi Tuan Guru yang menjual belikan ayat untuk memperkaya diri. TG adalah sebutan untuk orang alim dan memang dapat digolongkan sebagai ulama. Ulama adalah orang yang mumpuni dalam ilmu pengetahuan. Sebutan TG itu sama dengan Mamix kepada maling itu, sama dengan sebutan budayawan pada orang yang menekuni kebudayaan atau cendekiawaan untuk orang yang menekuni ilmu, tetapi tak dapat disebut TG meskipun cendekiawan dan ulama artinya sama.
Orang dengan mudah menuliskan didepan namanya TG, KH, Syaich saking sablengnya. Mereka tak faham bahwa Tuan itu sama artinya dengan Raden, Lord, Monsignor, Mr. dan juga Syaikh serta Kyai. Yang aneh tak ada satupun menuliskan titel sebagai Mamix Fulan, meskipun kampiun dalam soal maling.
Bagaimana caranya seorang bupati menentukan bahwa si fulan adalah maling yang harus diberi tunjangan agar dapat melakukan bisnis kecil agar tidak maling? Negeri ini sudah penuh dengan maling, umpamanya banyak saya kenal dosen tidak mengajar, guru bolosan karena cari tambahan penghasilan diluar, pejabat negara yang korup dan anggota masyarakat yang dengan berseri seri mendaftar sebagai kaum miskin agar memperoleh BLT… para staf kelurahan datang siang dan pulang sebelum jam 12 siang. Para sopir angkutan ekspedisi menyetor 5 ribu kepada oknum petugas di tiap pintu masuk kota yang dilewati.
Apakah mereka ini akan diberi 5 juta perorang, karena sangat jelas dan mudah dilihat perbuatan mereka yang maling. Tetapi para maling yang di Lombok Tmur itu tak ada satupun yang dapat terang terang dilihat sedang beraksi kecuali tertangkap tangan.
Disinilah dibutuhkan pemimpin sejati ummat manuisa, yang diperlukan bukan pejabat. Karena pemimpin seperti halnya orang orang yang diberi gelar itu, adalah orang yang dipilih dan dihormati oleh rakyat. Seorang disebut TG, tidak akan petentang petenteng membawa title pemberian rakyat itu secara kekanak kanakan. Seperti seorang anak kecil yang membahasakan dirinya dengan menyebut namanya sendiri saat bicara. Pejabat adalah budak dari birokrasi politik yang mengangkatnya, mereka menjalankan tugas yang digariskan oleh Peraturan, Rancangan anggaran, Undang undang dan sebagainya. Seorang pemimpin tidak melihat kepada hal lain kecuali hati nurani. Seorang pejabat tak dapat bergerak tanpa ditunjang oleh dana dan dukungan politik. Seorang pemimpin tak perlu apa apa untuk menggerakkan manusia.
Alangkah gilanya seorang pemimpin seperti sultan, raja , TG dan syaikh yang spiritual meninggalkan jati dirinya untuk ditukar menajadi pejabat yang sangat duniawi dan sesaat. Seharusnya pejabat di Lombok Timur itu mengundang para TG yang tulen, TG bukan yang sekedar pakai sorban dan jubah, untuk menyelesaikan tugas menghapus maling dari gumi Sasak itu. Para TG itu punya jamaah besar, mustahil mereka tidak mampu menugaskan seribu mata mata untuk mengawasi maling dengan selalu
menempel mereka sembari mengulurkan bantuan material dan jalan keluar atas kemelut ekonomi yang membuat mereka jadi maling itu. Maling itu timbul pertama tama adalah sebagai akibat keterpurukan ekonomi dan hancurnya martabat kemanusian karena diabaikan (dimarginalkan). Jarang maling yang disebabkan oleh kleptomania, seperti langkanya manusia yang mengalami maniak lainnya.
Solusi cepat mengatasi maling adalah menegakkan keadilan sosial bagi seluruh Anak Bangsa Sasak. Membuka lapangan kerja atau menyalurkan tenaga kerja Ke LN dengan fasilitas pemerintah. Rp.5 juta itu kecil, tapi berat kalau hilang sia sia, lebih baik ditambah jumlahnya agar mencapai ongkos ke LN, saya yakin para maling itu mau mengembalikan pinjaman ke pemerintah. Maling itu sekali lagi adalah manusia dengan karakter sekuat TG sejati. TG asli berjuang mati matian untuk menyelamatkan ummat sedangkan maling mati matian menyelamatkan martabat dan keluarganya sendiri. Kalau ada alat pengukur untuk melihat kekuatan karakter mereka pasti TG dan Maling professional berada pada skala tertinggi. Selain itu mereka punya kesamaan lagi yaitu sama sama diberi title oleh masyarakat tapi maling tidak sudi menuliskan titelnya untuk dipamer.
Marilah kita buka hati kita dan saling berbagi dengan sesama anak bangsa, engkau adalah aku dan aku adalah engkau. Janganlah kita menepuk air di dulang terpercik muka sendiri dan akhirnya memecah cemin yang menampilkan rupa kita yang buruk karena kita memelihara dan membesarkan maling dilingkungan kita dengan sengaja.
Wallahualam bissawab
Demikina dan maaf
Yang ikhlas
Hazairin R. JUNEP
Jumat, 22 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar