(Sasak.org) Sabtu, 15 November 2008 20:41
Rasa rindu pada kampung nan jauh di mata dan rasa kantuk yang kuat sekali menerbangkan anganku menelusuri puncak Rinjani dan terjerembab aku di sebuah dasan kecil bernama Kabar. Dasan itu terselip diantara sawah ladang dan bebukitan di daerah selatan tengah Gumi Sasak.
Assalamualaikum Ya akhlil kubur, aku ucapkan salam dengan takzim pada seorang yang tak ku kenal secara pribadi, kecuali saling beriring berjalan di suatu siang di depan lapangan Masbagik.
Alaikumsalam anak bajang, suaranya lembut sebagai angin alus menerpa gendrang telingaku. Aku mulai tenggelam dalam percakapan dengan sufi yang tak banyak dibicarakan dalam diskusi ataupun senepa seperti TG lain yang banyak berserakan di dasan kami.
Guru bagaimana keadaanmu di alam penantian ini, maafkan daku membangunkanmu dalam samadi panjang ini. Tidak ada masalah anak bajang, kapanpun aku bisa kembali menemukan diriku. Samadi berarti sam dan adi, bersama diri sendiri, menyatu dengan sang diri. Tidak ada masalah aku telah berpulang dan tak ada kesulitan seperti yang terjadi padamu. Aku rindu untuk berpulang guru, aku melihat engkau begitu tenang damai dan berserah diri. Ah, anak bajang kau berbuatlah dulu yang banyak agar kelak kau memiliki tabungan besar supaya mudah perjalananmu.
Guru, aku tahu, dan semua pepadu nina mama sudah tahu bahwa kami harus berjuang seprti guru dahulu. Guru telah membangunkan kami di saat fajar tiba dengan menaiki menara masjid, padahal kami masih tidur lelap. Guru telah berjalan dari ujung ke ujung gumi Sasak, untuk menggelitik manusia. Meskipun belum pernah aku melihat tanganmu atau kakimu mengusik orang.
Azanmu yang aneh, membuat bulu kudukku berdiri, dingin pagi membuat badanku bergetar, aku tak ikut ke masjid karena aku masih kecil. Amax dan Inax telah kau tarik jadi jamaahmu dan syukurlah mereka telah bersama denganmu. Mereka baik baik saja kan, guru? Ya, anak bajang, mereka sedang lelap dalam samadi yang dalam sekali, sampai kaupun tak dapat membangunkan mereka. Hanya doamu yang senantiasa berkilau mengitari mereka. Kau anak baik.
Guru, aku ingin mengikuti kau, tapi aku dan pepadu lain, sangat capek, dan putus asa. Mengapa pepadu pepadu tanggung sekarang tak beranjak maju dalam ilmu maupun ketrampilan hidup? Dahulu guru, tidak pernah melatih orang seperti kami menghabiskan waktu mengajar computer, hitung dagang, seni, olah raga dan sains. Mereka tetap saja banyakan momot seperti batu besar di memontong itu. Tolong guru berilah rahasianya, mengapa generasi terdahulu kami lebih taat dan tekun.
Anak bajang, bukan begitu, kau haruslah melihat dengan mata dan mendengar dengan telinga serta merasakan dengan hati. Anak cucuku yang kalian bimbing telah mencapai tingkatan kemajuan yang prima. Masalahnya kau dan kawanmu memandang mereka berada ditempat ketika matamu membandingkan mereka dengan kemajuan bangsa besar lainnya.Itu kesalahanmu bukan? Kau dididik di sekolah agar objektif tapi kau dan CS mu gagal menjadi manusia objektif. Bahkan banyak TG muda juga telah kehilangan objektifitasnya oleh derasnya perubahan zaman.
Guru, mereka yang telah bersekolah tak bertambah pintar, mereka yang lulus madrasah tak tambah sholeh jadi apa yang aku banggakan? Aku malu kepadamu, kau sangat besar dan berjasa bagi anak bangsamu namun demikian engakau hanya di sebut GURU BOLANG. Sekarang banyak pepadu yang seperti ku tidak pintar dan tidak sholeh, tapi mereka memamerkan nama dengan sebutan berderet sampai beberapa meter. Bahkan ada aku dengar sekelompok orang yang merasa bangsawan, tak memandang sebelah mata orang kebanyakan.
Anak bajang, kamu tak dapat memahami sesuatu dengan benar kalau kau masih terpengaruh dengan hal hal kecil seperti itu. Jangan kau melihat kelakuan segelintir orang lalu kau hantam semua bangsa Sasak yang keliru. Pada dasarnya semua bangsa Sasak itu pintar dan cerdas, kita hanya mencoba menabur garam dilautan, siapa tahu di area tertentu dari samudera luas itu ada yang kurang sedikit asinnya. Kita kadang meremehkan usaha kita kalau kita tak melihat langsung hasilnya. Kami dahulu tak ingin tahu apa yang akan terjadi kemudian, hak dan kewajiban kami hanyalah menabur garam itu, selebihnya hanya Allah saja yang menentukan.
Guru yang ku banggakan, sekarang banyak TG muda berjingkrak jingkrak dan berdeklamasi dalam kampanye maupun di café café. Kami sangat khawatir, mereka melepas jubah dan kembali ke wilayah yang abu abu. Kami telah berusaha keras membimbing anak bangsa kearah kemujuan dan kesholehan sosial tapi dengan begini keadaannya, bisa bisa amburadul. Akankah kami menjadi bangsa kerdil tak berbudaya dan tak berkarakter. Akhlak makin merosot pula.
Kau berlebihan anak bajang, pandanglah mereka sebagai manusia biasa, hanya setumpuk tulang dan daging seperti dirimu yang gelisah ini. Lihatlah di ujung yang lain, ada orang yang gelisah juga mencurigai engkau dan kawanmu, mereka itu memandang seperti kau, seolah TG muda itu adalah malaikat yang harus menyulap anak bangsamu jadi seperti kau kehendaki. Sedangkan TG muda itu perlu makan minum kawin dan bekerja sebagai aktualisasi dirinya. Kesalahan kalian bersama adalah kalian tak berhenti memuja tokoh yang dibesarkan oleh omong kosong orang awam. Setiap hari cerita bohong menggelembung tak terperi dan untuk menjaga kebohongan itu orang sanggup berperang.
Oh Guru, engkau bijaksana sekali menerima nama sebagai GURU BOLANG, kau telah dibuang oleh masyarakatmu dan kau dianggap gila, tapi kau telah memberiku setitik cahaya. Anak bajang, kau jangan terlalu romantis, tidak ada aku berpikir bahwa aku dibuang. Semua aku lakukan karena Allah, bukan karena masyarakat, bukan agar meraka berubah baik dan mengagumiku! Aku berjihad tanpa memelototi subjek yang aku ajak berubah, soal itu adalah urusan Allah semata. Kalau Allah menghendaki si Obama jadi muslim niscaya jadilah. Itu bukan urusan kita. Aku nasihatkan kepadamu, jangan kau mencoba menginginkan orang lain harus sama dengan dirimu. Mereka adalah istimewa, karena Allah membuat mereka istimewa. Ada 7 miliar manusia hidup, tak ada satupun yang sama, jadi biarlah mereka menjadi apa saja. Jangan terlalu takut, Allah menjaga kalian. Bagi yang rusak akhlaknya, tunggu saja waktu, bagi yang baik akhlaknya juga harus menunggu waktu, tak ada yang pasti ditangan kita. Demi waktu sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi. Dalam kerugian itulah kita harus berjuang agar untung. Jangan terlalu ambisi mencari untung. Sudah untung kalau mulut kita sempat mendakwahkan kebernaran meskipun satu ayat.
Oh guru, terima kasih atas wejanganmu, aku tak berani lama lama bercakap denganmu, makin lama makin terkorek bobrok kemanusiaanku, aku mohon izin untuk kembali kepada kawanku. Silahkan guru bersamadi. Terimakasih semoga Allah melapangkan jalannmu selalu. Wassalmualaikum warahmatullahibarakatuh.
Wallahualam bissawab
Demikian dan maaf’
Yang ikhlas
Hazairin R. JUNEP
Jumat, 22 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar