Jumat, 29 Mei 2009

Ling Ling

(Sasak.org) Senin, 18 Februari 2008 01:00

Masih 2 minggu lagi sisa waktu untuk tinggal di gumi paerku yang sungguh aku cintai ini. Tiga bulan segera berakhir dan aku telah kenyang dengan segala pahit getir pencarianku atas orang yang ada di dalm daftarku. Aku akhirnya bertemu dengan keluarga keturunan yang aku inginkan. Mereka tercerai berai sampai di Bali, Jawa bahkan Kalimantan. Tapi ada beberapa orang yang tinggal dan terus menetap di Ampenan dan Cakra Negara. Mereka. Merasa bahwa Selaparang adalah tumpah darahnya. Mereka makan dan minum dari Tanah ini. Mereka bahkan lahir dengan cara Sasak. Mereka melakukan apa saja seperti orang Sasak.

Aku berhasil menghubungi komunitas keturunan di Guangzhou Cina dan mereka masih fasih berbahasa Sasak karena mereka hanya menggunakan bahasa Sasak dan bahasa Hokkian, sedang yang di Hong Kong mereka berbahasa Sasak dan Kanton. Mereka gembira sekali saat aku hubungi lewat telpon dan mengundangku ke sana. Aku pasti akan berkunjung ke Guangzhou dan Hongkong. Duhulu aku pernah ke Hongkong waktu dikuasai Inggris tapi aku tak tahu menahu soal keberadaan orang Sasak yang Cina itu.

Para pelarian itu ditampung di Cina Selatan dan bekerja sebagai petani sangat sederhana, Pemerintah membagikan tanah gersang untuk mereka. Kini mereka lebih makmur karena kerja keras pantang menyerah. Mereka pergi tanpa apapun kecuali terselip sifat pagahnya yang secara alamiah diwariskan dari tanah ini. Pelarian yang di Hongkong berhasil jadi pedagang sampai bintang film kungfu. Bahkan ada Sasak yang senasib denganku, dia pernah dikontrak Indosiar untuk serial film laga bersama Arie Wibowo. Di film itu ia bernama Shi Fu. Sempat aku lihat sedikit. Dia Asli Sasak dan dibawa oleh orangtua angkatnya ke Hongkong setelah kerusuhan itu.

Aku pernah membaca laporan bahwa eksodus orang keturunan bukan sekali dua terjadi di Nusantara. Ketika Negar Israil terbentuk orang –orang Yahudi pergi berimigrasi dan meninggalkan bisnis mereka di semua kota termasuk Ampenan karena adanya kebencian dan ancaman mau diganyang.. Meraka ditampung persis seperti waga Cina sebagai petani di padang gurun yang tandus dan lebih buruk sejuta kali daripada yang di Cina. Karena di Cina masih ada hujan betapun sedikitnya tapi di kibuts-kibuts atau ladang pertanian gurun Yahudi, jangan pernah mengharap hujan, paling cepat sekali 4 tahun. Orang –orang eksodusan itu masing-masing bergelut mempertahankan hidup. Dan sekarang padang pasir dan tanah tandus di kedua Negara itu yang dikelola oleh orang yang kita benci itu makmur bagai kebun di tanah Selaparang ini.Entah kenapa kita selalu membenci semua orang. Mengapa kita tidak kunjung mengerti diri sendiri. Sedikit- sedikit kita mau mengganyang orang.

Setelah usahaku yang sia-sia mencari keturunan La Sitah yang berasal dari Teros itu, aku bertemu seorang guru di sebuah madrasah kecil di Gunung Sari Lombok Barat. Beliau orang yang sholeh dan sangat sederhana. Dahulu beliau adalah seorang pejabat di Gubernuran. Akhir tahun 90 an mengundurkan diri dari hiruk pikuk urusan yang banyak mengotori tangannya. Katanya betapapun telah mati-matian menjaga kebersihan diri niscaya tersangkut jua dengan hal-hal haram. Memang Beliau anti korupsi, kolusi dan nepotisme. Akibatnya beliau tersingkir dari pergaulan di kantor sendiri, bahkan bawahan yang dilindungipun tidak menyukainya.

Guru ini masih ada hubungan kekeluargaan denga La Sitah dari neneknya yang bersaudara dengan Papux Guru, yang dahulu tinggal di sebuah dasan di Lotim, namanya memang Papux Guru, entah dia guru beneran atau ustad wallahu’alam. Aku dibawa ke sebuah jalan tidak jauh dari Bank Indonesia di Mataram. Kami berjalan ke arah Gomong menelusuri jalan terusan tengiri. Sampai di dekat masjid, kami berhenti dan Guru menanyakan sesuatu pada seorang pemuda dan kami menuju rumah disebelah utara masjid itu.

Aku dipertemukan dengan seorang kakek yang sudah berumur sekitar 70an tahun . Dia tidak ditemani siapa siapa. Rumah itu kecil sekali hanya 4.6 x 4.8 m dengan dua ruang yang disekat pagar bambu. Aku ingat rumah Rasullulah SAW. Ukurannya sama. Tapi ini rumah orang biasa, bukan Raja atau Jendral atau Nabi. Kiranya ia mencoba hidup secara Nabi sampai rumahpun seukuran juga.

Setelah berbincang dan memperkenalkan diri, aku sampaikan maksud dan tujuanku. Aku datang karena Allah, agar aku dapat mengetahui keberadaan keluarga besarku di Tanah Selaparang ini. Apapun yang terjadi aku harus menemukan jejak mereka. Kakek itu bercerita tentang ibunya La Sitah yang sangat sayang kepadanya. Ia disekolahkan ke Peraya dengan jalan kaki karena Di Selong belum ada sekolahan yang diinginkan. Selepas sekolah dia berdagang di Tanjung tapi tinggal di Teros. Usahanya berhasil kalau dilihat dari standar orang Sasak. Jarang sekali ada yang pandai berdagang. Tapi kakek itu dapat bersaing dengan para pedagang keturunan. Baik di Tanjung maupun Labuhan Haji. Usahanya dibidang sembako dan pakaian. Cara berdagangnya meniru Rasullah. SAW. Mangambil untung maksimal hanya 10% katanya.

Waktu bercerita panjang lebar, aku mendengar Guru menyebutnya Tuax (paman). Oh rupanya mereka bertalian persaudaraan. Ketika aku tanya apa kiranya beliau mengenal orangtua angkatku, kulihat dia berkaca-kaca lalu tersengal dan menangis. Lama sekali rasanya waktu berputar, saat seperti ini semua jadi kelabu. Aku mengenang masa kecilku tak dapat kuingat apapun tentang ayah ibuku, mereka meninggalkanku diwaktu aku masih balita. Aku hanya ingat Ibu bapakku yang keturunan.

Akhirnya mereda juga sesak kakek itu, dan mulailah beliau cerita, bahwa aku adalah anak kakaknya dank karena hubungan baiknya dengan Babah Tan, beliau menyebut bapakku demikian maka aku diminta untuk diasuh keluarga Tan itu. Aku memegang tangan amax yang adalah Amax kakangku dan kupeluk badannya yang kurus. Berkat Rahmat Allah bertemulah satu keluarga yang telah bercerai berpuluh tahun.

Guru yang merupakan sepupuku itu, minta pamit dengan perasaan bahagia dan meninggalkan aku bersama Amaxku berdua. Aku mengantar guru sampai di terusan tengiri dan aku cepat kembali ke Amax. Aku mengajaknya keluar untuk jalan-jalan mencari angina segar. Aku tak mau bertanya banyak saat ini aku ajak dia makan di lapangan Mataram. Kami makan semua yang disediakan. Ada ketupat yang panjang, kecil-kecil aku lupa namanya. Meskipun rata-rata pedas aku menyukai yang paling kurang pedasnya. Ada sate pusut, pencok, beberok, bebalung, lindung totok, pelecing ayam dan banyak lagi, makanan dan minumannya.

Aku menginap di rumah ala Rasulullah SAW itu dan Amax tidur di dalam aku di luar hanya diatas dipan dengan tikar pandan. Aku ingat Rasullullah kalau bangun tidur terukir bekas pelepah kurma dipipi dan disekujur badan. Malam ini aku akan tidur dimana papux baloxku tidur. Mereka kokoh dan digdaya., akupun harus begitu. Meski terpisah ruang kami terus bercerita tentang tokoh sejarah Sasak. Mulai dari Cupak- Gurantang, Rustambing, Tameng Muter dan Kakek moyang kami Raden Tilar Negara yang menurut pendapatku itu adalah nama samaran untuk orang yang pergi meninggalkan gumi paernya.

Aku pernah membaca disebuah buku, bahwa di Tanah Selaparang pernah hidup para empu yang digdaya dan menurut buku itu Keris raja-raja Majapahit dipesan di Tanah Selaparang ini. Kemungkinan besar Raden TN tinggal di Majapahit dan berguru disana lalu pulang ke Selaparang dengan istri yang cantik jelita. Ah itu terjadi di abad ke 14. Aku tak akan melacak seajauh itu.

Kami tidur lelap sekali tadi malam, setalah minum kopi tubruk yang asli, banyak sekali sampah kopinya yang ngompal diatas. Aku irup pelan-pelan, aduhai nikmatnya, tidak sekeras Nescafe yang kimiawi itu. Seperti tembakau Kesturi, rasanya hampa tapi aromanya super. Amax keluar sebentar dan balik lagi dengan bungkusan daun pisang. Diambilnya piring dan dideretkan, ada lupis, reket bedeng, kludan, serabi. Amax…..amax! kan aku bukan Doyan Nada kok semua di beli. Aku panggil anak-anak yang bermain bekel dan kelereng di depan dan makan lahap semua tandas seketika. Doyan Nada kecil beraksi…

Amax cerita bahwa dulu beliau punya petak kangkung disekitar masjid dan di dekat kali dekat pura orang hindu itu. Tapi dijual semua dan membangun kamar kos yang sekarang menjadi uang pensiunnya, yang jumlahnya sedikit lebih tinggi dari UMR. Kami makin akrab tiap hari. Aku jadi ingin banyak bertanya kepada amaxku tentang kehidupannya.

Aku lihat dia sebatang kara, agak berat aku menayakan bagian itu, tapi aku harus mengetahuinya. Aku sendiri memang masih bujang. Orang bilang aku bujang lapok tapi aku belum termasuk mosot karena aku tak pernah berhenti berusaha, hanya Allah yang menentuka aku belum dapat jodoh. Tapi amaxku ini sudah tua…

Selepas amax membaca Al-Qur’an siang itu aku berbincang-bincang mengenai aktifitas anak-anak di masjid sebelah. Aku lalu mminta Al Qur’an untuk ku baca. Amax menuyuruhku mengambil sendiri di atas lemari kayu kecil yang berisi pakaian dan alat dapur seklaigus.Saat aku mengambil Al Qur’an itu aku mlihat foto kuno hitam putih. Gambar seorang gadis berwajah oriental. Aku cepat keluar dan membaca Surat Al Baqarah. Satu juz.Aku selsai membaca kami langsung pergi ke warung dipojok jalan pendidikan dekat SMA I. Kami makan soto bebalung dan minum cao dengan kelapa muda. Aneh kami sama-sam tidak suka es. Aku takut jangan-jangan aku juga nurun gak dapat jodoh seperti dia. Aku tidak merasa tua dan aku tampak jauh lebih muda dari umurku.

Pulang makan, aku bergurau dengan amax mengenai cewek. Aku bilang sampai saat ini aku belum dapat istri. Kalau amax ceritanya gimana dong, tanyaku. Amax meghela napas panjang sekali. Aku menggoda, foto siapa itu di lemari dalam, tanyaku. Ku harap aku tidak mebangunkan macan tidur atau sebaliknya membuat frustrasi.

Amax nenarik napas dalam dan mencoba tegar, meski raut wajahnya sendu. Foto itu adalah LING LING, kata amax memulai. Dia adalah keponakan babah Tan dan usianya 18 tahun waktu itu. Amak mulai tersengal tapi berupaya tegar dengan suara yan mulai minor dan parau. Amak menruskan ceritanya. Aku ragu apa perlu diteruskan, karena wajahnya menunjukkan rasa sakit yang menekan. Aku tak tahu bagaimana menghentikannya. Tiba-tiba amax bertutur dengan lebih lancer.

“Aku sedang berdagang di Labuhan Haji, berangkat pagi dan pulang petang seperti biasanya, tapi suatu hari di bulan nopember 1966. Aku melihat kepulan asap tebal di seantero gumi Selaparang. Memang sebelumya banyak kejadian akhir-akhir itu. Ada revolusi kata orang. Tapi tidak ada asap membubung sebesar itu. Aku bergegas mengepak barang dan segrea memanggil pemabantuku untuk menjaga kios. Aku bergegas pulang dengan naik cikar karena Bis Sampurna tak terlihat. Aku minta kuda dipacu agar cepat sampai Tanjung Teros. Paok Pampang hangus dan banyak orang berlarian. Kami berpacu dengan kehawatiran dan Loang Sawax hangus juga. Sepanjang jalan orang berteriak ganyang Cina! Ganyang Cina!. Aku kuatkan hatiku dan berdoa semoga Allah menyelamatkan kami. Akhirnya sampai di Tanjung aku temukan kiosku hangus sudah. Semua kompleks tinggal puing. Aku melihat kerumunan orang keturunan lari ke daerah pedaleman untuk mencari perlindungan. Ada yang dibacok dan tersungkur. Aku bertakbir.Syetan apa yang merasuki tetangga kami, saudara kami sehingga tega berbuat begitu. Korban berjatuhan, ada yang lari ke arah Teros. Aku berusaha menyambar mereka dan ku naikkan ke cikar tapi jahannam, ada yang menombak orang yang kutolong. Akupun diancam aku bertakbir dan memacu kuda ke arah kepala desa. Kantor penuh sesak dan hiruk pikuk tangisan riuh rendah. Orang-orang keturunan diamuk massa!”

Amax menghela napas dalam dan mulai lagi menitik air matanya. Aku tak berkata sepathpun, napasku terengah karena emosi luar biasa. Aku mulai menangis tapi ku tahan agar tidak terpecah. Amax meneruskan.

“ Aku mencari sisa keluargamu, yang rencananya akan menyusul keEropa pada tahun itu. Aku kembali ke Tanjung dan mencari diantara kerumunan orang yang menangis. Aku mencari dan mencari tak juga aku ketemu. Aku bertanya pada orang ramai kemana warga kleturunan berlari,mereka menunjuk ke pedaleman aku lari kesana dan menemukan hampir separuh warga keturunan bersembunyi. Tapi aku tak menemukan Ling Ling.”

Amax meledak dalam tangisan yang memilukan semua makhluk, aku membelai punggungnya yang kurus. Badannya yang tinggi semampai dapat kubayangkan kegagahannya saat kejadian dulu. Ia mencoba menahan agar tangisnya tak pecah lagi. Anak-anak yang bermain menengok ke arah kami. Aku mengibaskan tanganku agar mereka pergi dari depan rumah.

“ Aku berlari ke Teros, tak ada tanda- tanda Ling Ling ke rumahku. Aku berlari kembali ke Tanjung dan berbelok kearah Kelayu , aku berteriak sekuat tenagaku memanggil Ling Ling, tak ada jawaban.” Aku berbalik melintasi lapangan dan kembali ke Teros. Seorang anak kecil tetanggaku, Senah menangis tersedu-sedu dan menunjuk ke arah kerumunan orang di belakang balai desa. Ling Ling teriakku. Tak ada Siapapun yang menjawab. Aku berlari ke arah kerumunan itu, Senah mengikutiku dari belakang sambil menunjuk nunjuk ke depan. Aku berlari sekencangnya.”.

Amax menangis lagi tapi diredamnya pecah tangisnya. Ada tetangga yang menengok kahwatir, segera aku kibaskan tanganku agar mereka berlalu. Mereka menundukkan kepala hormat dan segera menghilang.

“ Allahu Akbar lahaula wala kuwataillabillahilalil adhim… Ling Ling terkapar, kepalanya hancur, bajunya sobek, sampai telanjang… Aku belum pernah melihat kekejaman seperti itu. Ling Ling disula…apakah ada yang lebih jahat daripada itu… Biadab…biadab. Mereka sembahyang tapi tak tahu artinya, mereka lebih buas dari binatang! Allahu Abar!” Ibu-ibu yang pemberani telah berusaha menyelamatkannya ketika lari ke arah lapangan dan mencoba berbelok ke rumahku. Tapi begundal begundal melemparnya dengan tombak. Para ibu berlarian menyongsongnya tapi begajul begajul itu terus menyerang dan menyulanya di depan ibu-ibu yang histeris. Tak ada yang dapat menyelamatkan Ling Ling. Tak ada yang berani mengahadang begajul begajul itu. Lelaki yang harusnya berdiri tegap menghentikan kekejaman itu tak terlihat sama sekali. Mereka berani hanya main keroyok. Aku mengangkat jenazah kekasihku yang akan kunikahi sebulan lagi. Ling Ling baru seminggu berikrar mengikuti agamaku dan dia mati bagai syuhada,,,Dia seorang muslimah. Aku membawa jenazahnya pulang karena keadaan kacau balau. Rumah orang tuanya. Habis terbakar dan ibu bapaknya juga dibunuh dengan kejam.

“Karena keadaannya begitu buruk, tinggal wajahnya yang cantik jelita masih dapat ku kenali. Aku harus memakamkannya hari ini juga. Aku memanggil anak-anak lelaki dan perempuan untuk membantuku memandikan dan kushalatkan sendiri bersama beberapa anak laki-laki lalu ku angkat dengan dua Batang bamboo yang ku buatseperti tandu. Aku membawanya dibantu 5 orang anak- anak. Aku menggali kubur dibantu seorang tua yang sering menolong mengatur dagangan. Ia tidak kuat untuk mengangkat tapi masih dapat membantu yang lain. Aku butuh waktu sampai magrib untuk menggali liang lahat dan selepas azan aku masukkan jenazah Ling Ling. Aku berdoa dengan khusuk petang itu. Aku segera pulang mandi dan shalat”

Amax sangat lemah dan terus mendengus menahan tangisnya. Dan tak kuasa melanjutkan kisahnya. Amak minta tidur. Aku antar dia ke dalam dan dia terlentang menghadap utara.

Kami tidak keluar malam itu krena kami berdua sangat lelah sesdudah shalat Isya di masjid kami langsung tidur.

Aku meminta kepada petugas konter KLM untuk menukar kelasku ke bisnis. Aku tak mau orang yang duduk disebelahku terganggu karena setelah mendengar kisah amax aku banyak mimpi buruk dan kadang teriak. Sepanjang perjalanan aku tak dapat tidur nyenyak. Sudah berapa kali terjadi kerusuhan selalu saja kaum kecil menjadi korban.

Mayoritas diam tidak pernah baik, aku tidak suka itu seandainya mayoritas masyarakat menolak dan menghalangi begajul-begajul itu tentu Ling Ling tidak mati disula. Waktu Pak Harto berkuasa semua tiarap, begitu turun baru berani, mengapa manusia kalau berkelompok jadi banci? Aku mengerti mengapa para pahlawan, dan bahkan Nabi selalu menyendiri. Dengan menyendiri manusia dapat melihat dengan bening dan tak mudah dihasut.

Kelak aku akan kembali ke Gumi Selaparang. Aku berjanji akan bekerja keras bersama

Amax untuk mendirikan pondok pesantren modern dengan life skill coach, membangun manusia Sasak yang berilmu tinggi, berakhlak mulia dan beramal sholeh. Aku malu membaca sejarah tanah airku yang kelam. Semoga seratus tahun ke depan dan seterusnya dari generasi ke generasi Tanah ini menjadi penuh cahaya karena kemakmuran material dan spiritualnya. Amiin Ya Rabbal Alamin.

Jogjakarta, 18 Feb 2008 jam 21.34 WIB

Wallahualam bissawab,

Demikina dan maaf,
Yang ikhlas

Hazairin R. JUNEP

(Sasak yang menyepi)

Tidak ada komentar: